Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2008

Surat Keenam

SABTU, 13 SEPTEMBER 2008 Untuk kekasihku: yang masih selalu menari-nari di tepi ranjang mimpi, Aku ingin marah saat ini! Memaki-maki! Menghancurkan apapun yang ada! Tapi kepadamu atau oran g lain, hanya ingin marah-marah saja. Melepaskan kekesalan yang mengendap menjadi kerak di otak. Kau tahu, kenapa aku ingin marah? Kau ingat surat terakhirku kemarin, di sana kutulis bahwa aku sedang mengurus ‘hal-hal yang tak masuk di akal’. Dan, rasa amarah ini berhubungan dengan ‘hal’ tersebut. Ada satu kejadian yang membuat aku merasa kesal, dilecehkan, diremehkan, diinjak-injak kepalaku tanpa bisa aku melawan (atau lebih tepatnya, tanganku diikat dan mulutku dibebat sehingga aku hilang daya untuk bisa melawan!). Akan kuceritakan sedikit. Saat ini aku sedang mencoba meraih tiket untuk bisa menghadapi masa depan yang mungkin lebih cerah. Akan tetapi, usa haku tersebut terbentur dengan ‘hal-hal yang tak masuk di akal’ yang membuatku kesal tadi. Dan, ‘hal-hal’ itu berkaitan sangat erat de

Surat Kelima

SABTU, 23 AGUSTUS 2008 Untuk kekasihku: yang tak pernah nyata, Aku di sini, di sudut penantian yang tidak pernah usai, menantimu kekasihku. Datanglah malam ini atau esok pagi atau esok sore atau kapan saja, tempati kembali tempatmu di sampingku, karena setiap hari rindu ini semakin memuncak menimbulkan risau tak berkesudahan. Datanglah kekasihku, entaskan rindu yang tak pernah ada habisnya ini, meski mabuk dari ganja yang kucecap demikian rakus sudah hilang dari persemaian badan, pun dengan berbotol-botol alkohol yang mengalir deras di kerongkongan tak jua mangkus untuk sekedar mencungkil sedikitpun. Demikian dahsyat rindu yang tiada pernah habis ini sayang, hingga teriak parau menyebar aroma perpaduan alkohol dengan nikotin kernet-kernet bis di kota kecil ini terdengar seperti nyanyian merdumu saat engkau merayu, mendendangkan sejuta tembang magis penggugah hasratku untuk selalu memainkan nada-nada erotis, membelai bibirmu dengan sesuap cinta abadi. Dan takkan pernah terlupa baga

Surat Kempat

RABU, 6 AGUSTUS 2008 Untuk kekasihku: yang entah sampai kapan hanya berupa bayang-bayang, Kekasihku yang begitu menawan embun pagi hari, Bagaimana kabarmu hari ini dan kemarin? Masihkah senyummu secercah derak derap langkah semangat semut kecil, seperti terakhir kali kita berpelukan di alam mimpi yang abstrak? Atau, masihkah binar matamu sebening air liur anak-anak kelaparan di Somalia –saat mereka punggung mereka yang tengkurap lemas dielus-elus tangan kiri Wong-wong Londo, sementara di tangan kanan memegang burger yang mereka lahap sendiri? Ah, aku berharap semua kenangan masih tersimpan. Surat ini aku tulis dengan perasaan yang sangat tak menentu. Sebenarnya selama ini aku menguatkan diri untuk tidak menulis surat -banyak urusan yang tak masuk di akal (kalau boleh meminjam istilah dari Bang Iwan Fals). Banyak hal yang sangat membutuhkan konsentrasi tinggi untuk diselesaikan, sehingga aku takut, bahkan untuk sekedar membayangkanmu. Karena aku tahu, dan kau pasti juga tahu,

Surat Ketiga

Selasa, 22 Juli 2008 Untuk kekasihku: yang masih juga aku belum bisa membayangkan, Hatiku menangis tadi malam. Mataku terpejam sambil memaki tak lama kemudian. Tak berani melihat tayangan yang mengiris-ngiris kalbu. Ada sebuah tayangan tentang realitas kehidupan di Ibu Kota negeri ini. Tentang kehidupan malam anak jalanan yang masih mencari rezeki di antara gemerlap lampu taman dan kedap-kedip lampu lalu-lintas. Bernyanyi dengan alat musik sederhana di sela-sela kendaraan yang berhenti waktu lampu lalu-lintas menyala merah dan di antara denting garpu dan sendok yang beradu dengan geligi di warung makan pinggir jalan. Terus terang sayang, tak terasa air mataku menetes perlahan. Aku bukan menangisi atau merasa kasihan dengan nasib mereka yang (ya Tuhan!) masih berumur belasan tahun, masih SD atau SMP! Harus mencari uang untuk bisa makan, karena aku yakin mereka adalah manusia-manusia terpilih yang dikaruniai dengan keteguhan dan mental baja. Air

Surat Kedua

JUM’AT, 11 JULI 2008 Untuk kekasihku: yang masih belum aku tahu siapa, Apa kabar kekasihku? Bagaimana keadaanmu di sana ? Aku di sini baik-baik saja meski sudah tiga hari hanya makan pepaya yang tumbuh di pekarangan kos-kos an ku sebagai pengganti nasi dan lauk-pauknya, yah maklumlah, pengangguran yang tak terdeteksi. Hehehe. Oh ya, surat ini aku kirimkan untuk mengatasi keterbatasan kita dalam berkomunikasi selama ini. Karena aku tidak menemukan e-mail balasan darimu di inbox e-mailku selama satu minggu ini. Tidak seperti biasanya. Tidak pula datang sms balasan darimu selama beberapa hari ini. Tidak seperti biasanya. Dan, tidak pula account -mu kutemukan aktif saat account messanger milikku kuaktifkan kemarin lusa. Tidak seperti yang telah kita janjikan malam sebelumnya untuk saling menyapa di alam maya. Tapi tenang saja bidadariku, aku tidak menaruh curiga padamu, karena aku tahu apa yang terjadi sehingga engkau tak seperti biasanya yang

Surat Pertama

SENIN, 7 JULI 2008 Untuk kekasihku: yang belum aku tahu siapa, Ini adalah surat pertama aku tulis untukmu. Kau baca: “ surat pertama”, berarti akan ada lagi surat kedua, ketiga, keempat, dan selanjutnya. Aku tak tahu kenapa aku nekat untuk menyatakan rasa sayangku padamu, padahal engkau pun tahu bahwa kita belum saling mengenal, bahkan rupamu pun belum aku tahu meski kucoba untuk membayangkannya. Aku pun sendiri tak mengerti kenapa bisa aku tergerak untuk menulis surat ini. Mungkin aku terbawa sedikit suasana setelah baru saja tadi membaca sebuah novel romantis karya Kang Abik yang judulnya “Pudarnya Pesona Cleopatra”, tentu kau tahu bukan pengarang itu, karyanya yang fenomenal, “Ayat-ayat Cinta” membuatnya menjadi seorang milyader baru dan dijuluki sebagai “Novelis No.1 Indonesia”. Dan, itu membuat aku sedikit bingung dengan kriteria yang dibutuhkan untuk menyebut seorang pengarang sebagai “Pengarang No.1” tersebut. Apakah jumlah buku yang habis terjual