Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2010

Hujan pasti akan datang kembali

kesepian ini bukan tak berarti ia ada untuk membimbing kita yang makin jauh dari apa yang bisa diduga pada hati lalu biarkan jerami-jerami dalam kebun ini berdzikir dalam alunannya sendiri seperti kita telah lelah saling mencari tidakkah kau ingat, sayang begitu kebencian sekali terbayang keteguhan hati akan goyang kemudian rasa nyaman akan terbang dan melati, biarlah hujan berhenti kali ini agar kau putih kembali seperti kali pertama kau melangkah di sini hujan pasti akan datang kembali namun entah kapan tiada yang tahu pasti tetapi tetap tepati ini hanya ujian pada diri untuk kita saling bisa kembali menghargai (27 September 2010)

Hujan di Stasiun Kota Kita

hujan datang padahal siang masih benderang gerimisnya pelan-pelan basahi kembali dedaunan "terselip di sudut stasiun tanjung karang," kereta itu penuh makian dan tatapan kosong sejuta pujangga merangas pada sela jendela dan sambungannya tanganmu yang selalu kurasa halus menenteng sebuah kardus "talinya hampir putus," selembar tiket biru terselip di sakumu basah terkena ludah "sementara hujan makin deras dan orang-orang berlarian dengan wajah memelas," pria berseragam polisi berdzikir dalam hati senapan laras panjang yang siap terkokang menjadi luapan kegembiraan beberapa orang yang keluar menuju pulang "kau masih terdiam dan ketakutan. pada basah. pada hujan yang melulu menggerutu," aku datang dalam guyuran hujan badanku bopeng dan kedinginan di sudut itu melihatmu yang ketakutan. pada basah. pada hujan yang melulu menggerutu "payung ini di tanganku. kemarilah, ku pinjamkan. jika kau tiada mau kehujanan," (25 September 2010)

Aksara awal yang tercecer

hujan ini tiada hentinya menggerus bumi sempat cemas, "apakah ia akan turut menghanyutkan pertemuan ini?" lalu ia hanyutkan panas yang masih menempel di kulit terus terang, kehadiranmu, telah membangkitkan sejuta rasa yang telah lama mati dikuliti oleh bidadari yang lain lagi kau tetap datang. basah kuyup dan hujan tak kuasa menahan gelepak sayapmu terbang mendatangiku dengan tatapan mata yang entah sampai kapan membuatku jengah kau datang bawakan narasi yang belum terselesaikan masih setumpuk adegan yang mungkin tidak akan selesai meskipun dunia berbaik hati untuk menceraikan siang dari siklus hidup lalu menjadikan malam sebagai istri pertamanya hanya agar kita bisa bertemu dan bercengkrama laiknya dua burung hantu yang saling ber-uhu-uhu di dahan pohon yang merangas terkena petir sore harinya ah, aku tak bisa memaksa ku antar kau sejauh jarak yang memungkinkan sedekat mungkin dengan lawan main dramamu berada (19 September 2010)

Sejak Sajak Bermula

kupandangi kembali resep itu dalam kosakatanya yang tiada terlalu perlu ku tau. gemetar jari ini. merinding alat tulis ini. tiap aksara berkilauan pada gemuruh retakan keinginan yang mulai runtuh. masih kusimpan sepenggal kalimat yang tiada sempat terucap, karena Sang Waktu memaksa kita untuk segera berlalu dalam panggilannya, maghrib itu, yang (memang) tidak bisa ditolerir oleh apapun, --bahkan oleh airmata kita yang menyatu dalam luruh. jika memang Neng ingin pergi dari sini. ikuti saja kata hati. bukan berarti aku tidak ingin kamu tetap di sini. tetapi, aku tersadar, rasa sayang ini membebaskan. bukan melepaskan. sejak sajak bermula pada perjalanan. "dirimu adalah milikmu. bukan milikku. atau milik siapa-siapa. seutuhnya," tulisku pada dekstop komputerku yang tak ada suaranya. kupandangi kembali resep itu dalam kosakatanya yang tiada terlalu perlu ku tau. (17 September 2010)

Pertanyaan-pertanyaan miris dalam beberapa kisah yang sedikit melankolis

apa yang bisa menghentikan hujan selain tangis dedaunan yang merindukan kerlip pelangi yang berpedaran. dan ataukah gumpalan kekecewaan bunga yang kelopaknya robek pelan-pelan? kapankah hujan akan terhenti. apakah pagi, saat embun membasuhi dan berdzikir sambil menunggu matahari. ataukah siang, ketika kepenatan dan haus memuncak dan hampir meledak. atau mungkin sore, dimana temaram membayangi kedatangan bulan tatkala senja yang muram menyusuri gedung-gedung dan jalan-jalan kota ini. atau malam? ketika burung-burung hantu duduk murung di dahan-dahan perdu dan menyanyikan berlembar-lembar lagu sendu: "Ku merenung, ku merenung. Kenali hati. Ku melaju, ku melaju. Menyelami hati. Aku tahu siapa aku, sebenarnya. Aku hanya seorang manusia belaka. Yang penuh dengan kesalahan dan kelemahan di dalam diriku. Yang penuh dengan kegelapan dan terang di dalam diri dan jiwaku."* perlukah hujan terus membasahi, jika tanah ini seperti tiada peduli lagi, dan pelan-pelan melirih dalam tangis. (