Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2011

Sajak Bujang Tak Punya Uang

Sabtu ini terlihat sendu ketika kusadari betapa tipis ini saku dompet biru merajuk malu saat kusapa, "Aku kangen kamu," Cicilan motor ponsel canggih dari kantor "Dor!" lemas aku diteror Ingin aku bertualang tapi bisakah bensin dibayar dengan kata: sayang? sementara perut sudah bergoyang karena belum diisi sejak siang Oh hari Sabtu tangki bensin berdebu duhai malam Minggu meringkuk memegang erat perutku (15 Januari 2010)

Kesan Pertama (2)

Senja meredup malu-malu sore itu di pelataran parkir minimarket sebelah gang Jambu senyum angin terbawa bulan kibarkan jilbab putih seorang gadis manis berpakaian Dinas Perhubungan Asap rokokku mengikutinya bersidekap pada aura damai langkah kedua binar matanya bagaikan kunang-kunang berpedar dengan nyaman diantara umang-umang Sebuah bayangan tentang rumah, anak-anak, dan isteri tercinta melambai saat ketika kami beradu mata dua titik hitam ternaungkan alis yang melengkung utuh menatapku teduh demi Tuhan! Hatiku langsung bersimpuh Gemulai tangannya kemudian memegang kendali kuda besi lalu mundur tetapi terhenti ah, ada lubang menghalangi jalan ban belakang ia menoleh seperti meminta bantuan Berdebar, kawan! kubantu ia sekuat tenaga dengan pamrih tahu nama dan nomor ponselnya harapanku membuncah! Jemari lentik itu cantik jenjang, kukunya tiada yang panjang matanya kembali melirikku sementara tangannya meraba saku Tipis bibirnya sedikit terbuka mungkin hendak menyebut nama atau mendiktek

Kesan Pertama (1)

Pertemuan pertama begitu mendebarkan kami berjanji di sebuah perempatan ponsel menempel di kuping dipegang tangan "di atas motor hijau, aku pakai baju hitam," Tak berapa lama, kami segera pulang "aku harus di rumah sebelum jam enam," Pertengahan jalan hujan datang menepi lalu kami di warung emperan baju kami basah dan ku lihat, betapa cantiknya ia Tatapan kami bertemu ssstt.. aku malu kualihkan dengan meminta permen bungkus biru amboi! berdebar rasanya hatiku Kami terdiam menunggu hujan reda harum melati meruap dari pundaknya selagi begitu ku tahu pandangannya menelitiku Sekilas kulihat ia tersenyum matanya melirik bolak balik ah, gede rasa ini hati Astaga! aku salah pakai celana! jeans belel ini robek di pantatnya! (13 November 2010)

Rumah (2)

Debu berpusaran di sepatu gunungku embun di ujung keladi menyambut lesu dalam barisan tak rapi di jalan setapak menuju rumah itu Pundakku memberat kerinduan memuncak airmata beriak tiap langkah seperti terjerat Berpuluh hari sabtu ku mencoba kembali berharap mampu mengintip pagar hijau itu serta mendengar lagi detik jam kayu mahoni Aku tahu, sadar juga memahami rumah itu sudah ada lagi yang menghuni bersihkan bulu-bulu kucing putih dan memberikan semprotan pewangi Lima meter lagi ah, itu dia rumah yang kucinta masih begitu asri Ku bersandar di muka gangnya ingin rasanya segera ke sana sekadar menyapa pintu dan jemurannya Tukang gula-gula selintas lewat dua orang memanggil ia dua tangan saling menggengam erat senyum bahagia terbesit dari bibir mereka Urung, langkah kaki lalu ku kurung iri, sedih, dan rindu luruh jadi satu pada penghuni rumah itu Rumah itu tak lagi untukku, sepertinya daun-daun pun jatuh seperti bulan lelap tidur di pelukannya Mataku gusar bak preman pasar Ramayana ingin