Langsung ke konten utama

Surat Ketujuh

SENIN, 17 NOVEMBER 2008
Untuk kekasihku: yang tetap menari dalam sepi

Wahai kekasihku, bagaimana kabarmu di sana? Aku harap kau tetap seperti yang pernah tertanam dipikiranku. Lembut dan menenangkan. Kurasa telah cukup lama aku tak menyapamu, dan aku mohon maaf akan itu. Keadaanku di sini terlalu kacau, bahkan hanya untuk sekedar menulis paragraf awal.

Aku sedang berada di titik paling membosankan dalam kehidupanku. Ditambah ketidakhadiranmu, membuat segalanya semakin terasa tak menyenangkan.

Kamu tahu, aku telah menyelesaikan urusanku di sini. Aku telah menunaikan semua kepentingan orang-orang yang mendukungku. Ya, kuliahku telah selesai, bersamaan dengan hujan yang turun dengan tiba-tiba pada hari itu, 4 November 2008. Tetapi, entah kenapa aku tidak merasakan euphoria yang seperti orang-orang lain yang mendukungku. Seperti ada ‘sesuatu’ yang lain lagi ‘di sana’, menungguku dengan pisau di tangan kiri dan pedang di punggungnya. Atau, seperti naik rollercoaster, saat kita baru berada di posisi paling atas, tanpa menunggu lama kita akan langsung jatuh dengan kecepatan yang mengerikan.

Dengan melihat betapa banyak pengorbanan, betapa banyak penderitaan untuk bisa lulus dari tempat penggodogan calon-calon pemimpin bangsa tersebut, mungkin aku harus bergembira, lari-lari telanjang keliling kampong kalau perlu. Tetapi, aku tidak berani untuk bergembira. Merasa pun tidak berani.

Karena telah lama aku tahu, di pundakku menahan beban berupa harapan dari orang-orang yang sepertinya tidak akan pernah puas dengan apa yang telah aku lalui. Selalu akan ada harapan-harapan baru, tuntutan-tuntutan baru, segera setelah harapan-harapan lama telah tergenggam. Mereka, selalu begitu, tanpa pernah melihat apakah aku butuh istirahat, mengendurkan sejenak segala ikatan-ikatan yang membingungkan. Untuk itu, aku tidak berani, tidak mau, tidak ingin bergembira. Karena, telah lama aku menjalin sebuah hubungan yang tidak mungkin diputuskan begitu saja. Karena secara tidak sadar, aku telah ditanami tanggung jawab untuk itu.

Aku takut aku menjadi robot.

Dunia baru yang akan kumasuki nanti sudah aku perkirakan seperti apa keadaannya. Dan, tidak satupun yang menguntungkanku, kecuali dompet yang akan terisi, yang mungkin bisa membeli secuil kenikmatan yang akan dengan segera hilang.

Aku ingin menari dengan bebas, tanpa perlu deru nafas orang-orang yang akan dengan biadab menilai apakah tarianku berbau pornografi atau tidak. Aku ingin merasakan kenikmatan akan sebuah perasaan gembira yang murni, tanpa perlu semburan-semburan mata apakah kegembiraan yang kuperoleh adalah hal yang layak atau sesuai dengan mereka.

Komentar