Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2009

Monolog Kopi yang Kemanisan (2)

5. aku meracik lagi. kopi hitam yang kental dan pahit. kucampur dengan sedikit sajak yang terkorosi. dan, kutuang di atas prosa yang redup terbakar api. 6. tumpahan kopi itu belum kubersihkan. "aku sangat ingin minum kopi. airnya sudah capek-capek kumasak. sayang, kan?". kuambil sedotan dan kuhirup pelan-pelan. 7. "aku tidak suka kopi yang dingin. makanya aku minum cepat-cepat," katamu ketika pada suatu pagi kita bercanda dengan melankoli. ah, hanya kata-kata itu yang tertinggal di bibir gelas yang belum ku cuci. tak lama, kusembunyikan gelas itu di bagian pojok lemari. hanya agar ia tak berkoar lagi. 8. meski kau bilang, "aku suka kopi pahit,", entah mengapa selalu manis kopi yang kau buat untukku. "ganti. aku tidak suka manis," kataku dalam dawai-dawai yang bergelambir pada kunci minor. kau ambil gelasku. kau buang kopi itu. kau endapkan ampasnya. dan kau langsung pergi. (7 Desember 2009)

Monolog Kopi yang Kemanisan (1)

1. aku tak bisa lagi membuatkan kopi untukmu. pun, tak mau lagi kaubuatkan. kopimu memiliki rasa yang sempurna (seperti juga namamu). tapi, aku tak mau menambah lagi. jangan kau tuang lagi. secangkir saja cukup, terima kasih. barangkali, aku memang harus berhenti minum kopi. 2. aku jadi racun di kopimu. buang. tumpahkan. racik lagi yang baru. jangan lagi kau tambahkan aku. nanti mati pula kau karenaku. 3. aku hidup pada tiap cecapan kopi. "sruuuupphhh!" . belaian uap panasnya pada telapak tanganku. caraku memegang cangkir tak sama dengan caramu. wajahmu mengeruh. racunmu mengalir tanpa aba-aba. ah, kurasa aku telah mati meski belum tergores racun itu. kopi hitamku memutih. 4. entah sudah kali keberapa kopi kubuat. tanpa sempat kau cecap. entah sudah kali keberapa kau buat tumpah. bahkan cangkirnya pun pecah. ini kali, aku membuat lagi. kental. pahit. tak manis seperti biasanya. kemudian aku sembunyi. menikmati pahitnya sendiri. (6 Desember 2009)

Wasiat

Seorang tua tertidur di kursi ruang tengah. sepiring tahu goreng mulai mendingin di atas meja depannya. sebuah buku bercocok tanam di pangkuan. dengkuran lirih teratur. bersahutan dengan sebuah kipas tua yang berderit ketika berputar di belakangnya. sementara pakaian mulai mengering diterik matahari pukul empatbelas. Segerombol orang berhati-hati tanpa suara masuk dari pintu belakang dekat dapur yang tak bisa dikunci. mata menyalang mencari barang-barang sekitar dua-tiga menit. tak ada apa-apa. menuju ruang tengah. hanya ada sebuah kipas angin tua yang berderit sebuah radio jaman jepang sepiring tahu goreng dan seorang tua yang tertidur di kursi ruang tengah dengan sebuah buku tentang bercocok tanam di pangkuan. “barang sampah semua!” satu orang memaki dalam bisik. Berpencar. satu orang menuju kamar tidur. mengacak-acak tempat tidur. mencari uang yang biasa disembunyikan di bawah kasur. tak ada. satu orang mengambil kipas angin tua yang berderit sebuah radio jaman jepang serta menghabi

Perempuan Datang atas Nama Cinta

Perempuan datang atas nama cinta Bunda pergi karena cinta Digenanginya air racun jingga adalah wajahmu Seperti bulan lelap tidur di hatimu Yang berdinding kelam dan kedinginan Ada apa dengannya? Meninggalkan hati untuk dicaci Baru sekali ini aku melihat keadaan surga dari mata seorang hawa Ada apa dengan cinta? Tapi aku pasti akan kembali dalam satu purnama Untuk mempertanyakan kembali cintanya Bukan untukmu Bukan untuk siapa Tapi untukku Karena aku hanya ingin kamu, Itu saja (Rako Prijanto)

Hutang

seorang yang kusayang kehilangan beberapa mimpinya karena aku datang. semakin dalam aku menelusup, kian banyak pula mimpinya yang tersusut. hutang ini harus dibayar meski nanti aku sendiri yang menggelepar (17 November 2009)