Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2010

Air (mata)

Airmata ini seakan tak mau berhenti sementara air wudhu mulai mengering di rambutku yang keriting Tiap kali ku menghadap-Nya doa-doa tanpa rima kupersembahkan kepada ia "tentang kebahagiaannya, mimpi-mimpinya, keluarganya, juga semangatnya," Karena semakin jauh untuk melepas sauh cukup kujaga ia melalui Dia Karena hanya itu yang bisa kulakukan sebelum kenangan tentangku di dirinya terhapus pelan-pelan (14 Desember 2010)

Sendiri

by: Sang Alang Di pantai ini ku nikmati nyanyian dedaunan mengalun manis dimainkan angin Mengajakku 'tuk kembali mengenang setahun yang lalu kala itu mimpiku dan mimpimu masih menyatu Kala hari mulai senja kau bersandar di bahuku kita nikmati surya tengelam Dan kau tulis nama kita di atas pasir putih sambil kau berucap semoga cinta kita 'kan abadi Andai saat ini kau ada di sisiku aku takkan sendiri dan tak sekedar mengenang cinta kita yang pernah ada Sendiri ku kembali mencari cintaku yang hilang hamparan pasir putih dan ombak yang bergulung Jingga mentari senja adakah kau simpan kisahku yang tenggelam bersamamu, yang terbenam bersamamu

Rumah (1)

Desah angin malam ini dendangkan suara nyanyian hati pagar-pagar yang mulai berkarat memberi salam pada langkahku yang berat Kenangan menyusuri jejak kaki jerat serta jerit saling memaki limbung di tengah lumbung tiada lagi tali itu tersambung Hujan, pelangi, dan melati ingatannya memenuhi rumah itu terasa panas oala, hati ini teremas Pertengahan bulan setelah Lebaran pondok bambu dan nyamuk hutan airmata dan kekecewaan dia terlihat dewasa seperti malam Lama, kusadari realita ternyata telah terusir aku dari sana rumah yang pernah ku pastikan selamanya pekarangan, ruang tamu, kamar tidurnya asri... saujana Syahdan, di kala senja memerah ku selalu pulang ke sana membawa segenap penat yang segera lenyap saat jemari itu tergenggam erat Tak terbuka kini pintu rumah itu lagi seperti sales asuransi perlahan aku terusir pergi Sekian jauh perjalanan aku selalu kembali ke sana di saat mesti bertahan tubuhku lelah lalu kalah Wahai, masih terlintas sketsa raut rumah itu pinus di tepiannya berdesir

Asri

"Ushollii fardhol ashri arba'a roka'atin," Sajadah cokelat alas sholat sekejab tercekat Tatap diriku yang menuju ruku airmata meluruh padahal baru rakaat ke satu Tak kuusap biarkan hangatnya tersesap dan aku tahu, pada saat itu segala harap kugantungkan pada Yang Satu "Ushollii fardhol 'ashri arba'a roka'atin," (7 Desember 2010)

Kisah Hingga Pukul Dua

Ruang tamu rumah bercat biru tiga hari sebelum hari Kartini kami mendekatkan hati setelah beberapa hari hanya saling menggenggam jemari Teh hangat tak terlalu manis terhidang berikut panganan pasar koran hari minggu alasnya rokokku tersembunyi di saku celana Ibunya baru saja pergi mengawasi ujian para calon penerus negeri tinggal kami berdua empat mata menantap berlama-lama Ia bersandar di bahuku pipinya halus saat kusentuh "alergiku kambuh," luruh aku saat ia merengkuh Suaranya lirih lalu kami bercerita tentang masa silam tentang semua yang berharga untuk dikenang Ia memintaku bercerita tentang kota kelahiran ibunda dan adik-adikku Dan aku juga meminta hal yang sama Tentang ikhwal darahnya ibu kantin di sekolahnya lamanya magang di Teknora juga tentang adiknya yang kuliah di Jakarta Betapa lucunya saat ia merajuk waktuku bergurau "adikmu cantik ya," Sofa tipis berlapis warna manis di sisi jendela jam kecil kayu mahoni remah-remah roti di kaki kami Kedua bibir kami

Sang Alang

Akulah sang Alang sendirian di antara bebatuan langkahku terpenjara tapi jiwaku melalang buana sekenanya Akulah sang Alang penjaga setia bebungaan dalam keterbatasan serbukku telingkupi mereka Akulah sang Alang mataku selalu terbuka terjaga sepanjang malam hingga pagi menjelang Karena akulah sang Alang berdiri gagah di tengah hembusan badai dan letupan senapan (28 November 2010)

Merejang Jaring

lelaki renta setengah baya erat menggenggam jala satu, dua, tiga hanya itu ikan yang didapatnya "mbok, kita puasa saja, biar itu untuk anak-anak" akhir bulan yang tak terang kembali jala terbentang lengan itu bergetaran sementara ikan tiada terjerang "tak apa Pa'e. Kita masih bisa puasa, uang yang kemaren ta' tabung untuk anak-anak sekolah" (Bd.Lampung; 5 November 2010 )

Teman Bermain

dia, teman bermain sejak kecil menikmati tanah becek di lapangan yang sekarang jadi kontrakan mencari belut di sawah yang sekarang jadi pabrik kain kasa berenang di kali yang sekarang jadi hanya selebar selokan menghirup udara pagi yang sekarang penuh cacimaki supir taksi dan metromini di pinggir Jakarta yang masih polos merona kita bermain hingga perlahan menjadi tua di atas tumpukan sampahnya mendedangkan kematian di pinggir Jakarta yang sekarang makin lebih tidak peduli (Bd.Lampung; 23 November 2010; 02:00 AM)

Kata dan Kita

lalu sajak-sajak menjadi teman penuh keakraban dalam kehidupan yang sudah kuserahkan pada kepasrahan ataukah kehidupan itu sendiri adalah sajak? dibaca dirasa diduga keterkaitan makna pada setiap kata menjalin sulur-sulur yang mengikat dalam setiap tulisannya seperti gerak berkesinambungan dari lengan pada kaki menuju ruang dalam hati begitu perih saat sajak-sajak menjadi ungkapan semua kegundahan maknanya baru ketahuan belakangan berdenyut tiap sudut dalam kata sajak kita merona unsur-unsurnya berlomba pada suatu senja di sisi kalimatnya kita hidup dengan kata hirupkan rangkaiannya berdentinglah, secangkir teh itu lautannya (21 November 2010)

Gerimis

Song by: Kla Project Musim penghujan hadir tanpa pesan Bawa kenangan lama t'lah menghilang Saat yang indah dikau di pelukan Setiap nafasmu adalah milikku Surya terpancar dari wajah kita Bagai menghalau mendung hitam tiba Sekejap badai datang Mengoyak kedamaian Segala musnah Lalu gerimis langit pun menangis Kekasih, andai saja kau mengerti Harusnya kita mampu lewati itu semua Dan bukan menyerah untuk berpisah Sekejap badai datang Mengoyak kedamaian Segala musnah Lalu gerimis langit pun menangis Kekasih, andai saja kau mengerti Harusnya kita mampu lewati itu semua Kekasih, andai saja kau sadari Semua hanya satu ujian 'tuk cinta kita Dan bukan alasan untuk berpisah

Surat untuk calon menantu

Wahai kekasih anakku kau boleh panggil aku apa saja mama, bunda, atau ibu karena sebentar lagi kau pun akan jadi buah hatiku Ibu bahagia mendengar kabar darinya kau memilih dia dampingimu selamanya Sebelum kalian membuka pintu baru dan kami memberi restu izinkan ibu melantunkan sesuatu Calon menantu, sembilan bulan ibu mengandungnya diazani ia oleh si bapak genap delapan bulan dilangkahkan kakinya satu tahun dua bulan ia merengek minta salak Ia memang bukan lelaki bijaksana kerap tingkah dan lakunya membuat kami gelengkan kepala tapi, calon menantuku, yakinlah ia adalah orang yang pertama tiba dan memapahmu saat kau terjatuh dari tangga Sungguh keras kepala ia bahkan keluarga di sini suka pusing dibuatnya tetapi ia akan berada di garis muka meski akhirnya ia mendapat cemoohan dari yang dihadapinya Belikanlah pakaian yang pantas untuk ia sekali saja menjelang hari raya karena ia merasa cukup dengan baju koko dan sarung biru kotak-kotaknya Mengajilah bersamanya ia bukan tak kuat agama ib

Kisah Hujan

(1) Panas matahari dan riak gelombang membentukku. Memuai lalu endapkannya. Kelabu warna tiap-tiap punggungku. Aku naik ke angkasa. Bersenda gurau dengan burung-burung manyar yang kebingunan mencari anaknya. Hembusan angin perlahan bawa aku ke segala penjuru dunia. Begitu tenang melihat semuanya dari sini. Sepi. Sendiri. Memburat pelan-pelan. Perjalanan ini begitu mengasyikan. Tiap benua memiliki rasa yang berbeda. Biru, merah, kuning, hitam. Tetapi, matahari itu kian membuatku penuh. Dan pelan-pelan, rupaku jadi menyeramkan. Kelabu hampir menghitam. Punggung-punggungku semakin membungkuk. Tiap sudutnya dipenuhi titik-titik air dari samudera itu. Ternyata berjalan sendirian tidak menyenangkan. Seperti orang asing di tengah pasar kambing, “Di atas lautan ini aku sendirian. Hampir gila rasanya,” keluhku pada daun kelapa di ujung tanjung. Seperti pendaki gunung, beban di punggungku berat memuat. Titik-titik itu mulai membuncah sedemikian rupa hingga aku tak tahu lagi yang mana. “Kemana ku

Surat Keduapuluh

Kamis, 11 November 2010 Untuk Hamparan Mimpi dan Harapan-ku, Kekasih, Apa kabarmu, kekasih? Sudah lama aku tak menyapamu. Entahlah, aku seperti tiada lagi ada di dunia kita. Bahkan, mimpi-mimpi yang dahulu selalu jadi tempat peraduan, kini seperti menghilang. Aku rindu padamu. Aku ingin bercerita, sedikit, tapi begitu dalam. Beberapa hari yang lalu, perempuan yang membuatku ada menghubungiku. Beliau meminta aku untuk pulang. Bukan hanya "pulang", tetapi benar-benar "pulang" secara harfiah. Kembali dan hidup di sana, kota besar dimana aku tidak pernah suka. *** "Nak, sudah, pulang saja," "Nanti, Bunda. Saya belum bisa," "Apalagi, Nak? Bukannya sudah selesai semua?" "Belum, Bunda," "Lalu apa? Pekerjaan? Atau, kamu masih berharap dengan dia?" "..." "Nak, Bunda tahu semua. Ini mungkin firasat orang tua. Tetapi Bunda rasa, tak ada lagi yan

No Racism, Please?

Malam itu saya dan kawan-kawan menonton semifinal liga Inggris, MU vs Totenham Hotspurs. Tiba-tiba seorang teman nyeletuk, "Ya ampun! Item banget Evra (bek kiri MU). Ga ada lagi yang gantengan apa?" Oh man! Saya cuma bisa nyengir-nyengir miris mendengar celetukan itu. "Sejak kapan kualitas seseorang ditentukan oleh keadaan fisik?" gumamku. Kadang kala saya merasa, kita sangat naif. Contohnya, celetukan teman saya tadi. Walau pun cuma humor, becandaan, celetukan, tetapi itu bisa terdengar sangat menyakitkan. Terlebih, jika seseorang pendengarnya memiliki ciri-ciri fisik seperti si Evra tadi (Negro=item, jelek, keriting). Lalu apa salahnya menjadi seorang negro? Toh sang pelatih sendiri, Sir Alex Ferguson, tidak mempersalahkannya, pun dengan pelatih-pelatih tim lain. Karena hanya satu alasan mereka yang mereka tahu: kualitas. Saya heran, juga geram. Kenapa kita bisa begitu rasis dalam keseharian kita? Media-media pun jadi begitu rasis dalam pemberitaanya. Contohnya,

Musik (kita) yang tak lagi asik

Salah siapa jika perkembangan musik di Sai Bumi Ruwa Jurai ini menjadi mandek. Hanya berorientasi kepada kepentingan pasar? Sore itu, lima pemuda berusia belasan terlihat asik dengan sebuah percakapan di sudut sebuah sebuah studio musik. Masing-masing dari mereka memegang kertas berisi catatan lirik lagu. Beberapa dari mereka memegang gitar akustik. "Ganti aja nih yang ini. Jangan cinta matiku , tapi, mutiara hidupku ," ujar seorang pemuda berperawakan sedang yang duduk agak di sudut. Empat kawannya yang lain setuju. Ia kemudian mencoret sebaris kata yang tertera pada kertas yang ada dihadapannya. Mereka lalu menyanyikan ulang lagu yang baru diubah tersebut. Setelah saya mendengar secara utuh lagu yang akan mereka rekam tersebut. salah seorang diantara mereka berkata, "Wah, bakal keren nih lagu. Abis ini kita tawarin ke label yuk, siapa tahu bisa tembus," ujarnya sambil memetik gitar. Saya kemudian menghampiri dan bertanya tentang motivasi mereka rekaman. Dengan ga

Anak-anak pada dunia kedewasaannya

Ketika Anak-Anak Kehilangan Kekanak-Kanakannya Ketika anak-anak Kehilangan kekanak-kanakannya tiada musik atau tarian yang kini mampu menggambarkan jiwanya Tiada keceriaan dan kepolosan Semua hilang bersama polesan-polesan bedak pergaulan Tiada pakaian yang mampu menggambarkan sisi kekanakannya Pakaian yang dikenakan adalah kedewasaan yang belum semestinya Tiada permainan karet ataupun kelereng karena permainan yang dimainkan adalah permainan kehidupan Ketika anak-anak telah kehilangan masa kanak-kanaknya Secara ikhlas ataupun terpaksa Diberikan atau direnggut oleh zaman Ironis namun kenyataan (010608) ---------- catatan; Puisi di atas saya unduh langsung dari sebuah blog: www.kyokoque.wordpress.com. Saya membahas puisi tersebut karena saya kagum. Mulai dari makna, subjek yang ditujukannya, pemilihan kata-kata yang lugas --baik itu dari pemaknaan leksikal ataupun gramatikalnya. Sebuah kontemplasi pemikiran yang (menurut saya) tidak dangkal. "Ketika anak-anak kehilangan kekanak-kan

"Logisnya" Cinta

Hari masih terlalu pagi. Azan subuh baru saja berhenti. Dan warga sekitar terburu-buru menuju masjid agar tak tertinggal shalat berjamaah. Di luar, embun pun masih enggan menetes dari ujung dedaunan, meski ngengat, jangkrik, dan serangga malam lainnya telah menarik selimut menutupi kepala mereka sambil menunggu malam berikutnya. Dan saya, pun masih bergelut dengan rasa tidak ngantuk seperti biasanya. Hari masih terlalu pagi, saat sebuah teori –atau lebih tepatnya, pemahaman baru— mendadak berkelebat lalu mengendap di benak saya. Sebuah percakapan singkat di ujung waktu imsak menjadi pemicunya. “Maaf kalau aku tidak bisa seperti perempuan lainnya, yang bisa dikunjungi kapan saja, yang punya waktu luang banyak, yang bisa diajak bercinta. Sayang, maafkan aku, dengan segala keterbatasanku,” Pesan itu lalu berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan yang terlontar begitu saja. “Apakah ada perbedaan antara mencintai dan dicintai?”. “Jika ada, apakah akan terlihat dengan nyata?” Lalu seperti ini

Sajak Terakhir Untuk Melati

usai sudah di kelokan sungai itu dekat muara kita berpisah lepaskan sulur yang mengikat keberadaan kita "duhai ranting patah, tak perlu kau tunggu silahkan kau melaju aku akan menuju ke arahnya. tak akan kembali atau menepi," selalu ku kira sama itu coretan cerita tentang hujan obrolan ikhwal awan dan nasi goreng yang kematangan "wahai melati, pergilah itu arusmu, ini arusku tiada lagi ku menahanmu aku tidak akan membual lagi," terkenang kembali segala ini sebelum kau pergi saat kita mulai meniti "dan mungkin kita tak akan sama-sama kembali menyusuri ini," tiada yang hangus saat nama pada masing-masing ponsel terhapus hanya belum ditulis-Nya nama kita pada kertas yang sama, itu saja (19 Oktober 2010)

Senandika Teh Tanpa Gula (3)

1. "selesai sudah," kata hujan pada suatu malam saat teh tanpa gula dalam cangkirnya tiada lagi tersisa. ya, musim hujan sudah waktunya berhenti dan biarkan pelangi melengkung penuh pada cakrawala. pada suatu pagi yang sempurna. 2. apa yang terjadi, jika hujan turun setiap hari pada kota yang tanahnya tiada bisa menumbuhkan lagi padi. tetapi hujan tidak pernah bisa menentukan dimana serta kapan ia akan melemparkan bulirannya bukan? namun arus yang mengalir sudah seharusnya memiliki tujuannya. entah itu ke muara atau apa saja. mengalir sangat berbeda dengan terhanyut. 3. bukan karena kesetiaan dan penantian melati kepada pelangi yang membuatnya gundah. "selesai sudah," ujar hujan yang pelan-pelan menarik diri dan mengisi cangkirnya dengan air sendiri. dan ketika air mata tak mungkin lagi kini bicara tentang rasa, bawa ia pulang segera menuju alirannya jelajahi waktu ke tempat berteduh hati kala biru. 4. secangkir teh tanpa gula menjadi sepi sendiri pada tepiannya saa

Hujan pasti akan datang kembali

kesepian ini bukan tak berarti ia ada untuk membimbing kita yang makin jauh dari apa yang bisa diduga pada hati lalu biarkan jerami-jerami dalam kebun ini berdzikir dalam alunannya sendiri seperti kita telah lelah saling mencari tidakkah kau ingat, sayang begitu kebencian sekali terbayang keteguhan hati akan goyang kemudian rasa nyaman akan terbang dan melati, biarlah hujan berhenti kali ini agar kau putih kembali seperti kali pertama kau melangkah di sini hujan pasti akan datang kembali namun entah kapan tiada yang tahu pasti tetapi tetap tepati ini hanya ujian pada diri untuk kita saling bisa kembali menghargai (27 September 2010)

Hujan di Stasiun Kota Kita

hujan datang padahal siang masih benderang gerimisnya pelan-pelan basahi kembali dedaunan "terselip di sudut stasiun tanjung karang," kereta itu penuh makian dan tatapan kosong sejuta pujangga merangas pada sela jendela dan sambungannya tanganmu yang selalu kurasa halus menenteng sebuah kardus "talinya hampir putus," selembar tiket biru terselip di sakumu basah terkena ludah "sementara hujan makin deras dan orang-orang berlarian dengan wajah memelas," pria berseragam polisi berdzikir dalam hati senapan laras panjang yang siap terkokang menjadi luapan kegembiraan beberapa orang yang keluar menuju pulang "kau masih terdiam dan ketakutan. pada basah. pada hujan yang melulu menggerutu," aku datang dalam guyuran hujan badanku bopeng dan kedinginan di sudut itu melihatmu yang ketakutan. pada basah. pada hujan yang melulu menggerutu "payung ini di tanganku. kemarilah, ku pinjamkan. jika kau tiada mau kehujanan," (25 September 2010)

Aksara awal yang tercecer

hujan ini tiada hentinya menggerus bumi sempat cemas, "apakah ia akan turut menghanyutkan pertemuan ini?" lalu ia hanyutkan panas yang masih menempel di kulit terus terang, kehadiranmu, telah membangkitkan sejuta rasa yang telah lama mati dikuliti oleh bidadari yang lain lagi kau tetap datang. basah kuyup dan hujan tak kuasa menahan gelepak sayapmu terbang mendatangiku dengan tatapan mata yang entah sampai kapan membuatku jengah kau datang bawakan narasi yang belum terselesaikan masih setumpuk adegan yang mungkin tidak akan selesai meskipun dunia berbaik hati untuk menceraikan siang dari siklus hidup lalu menjadikan malam sebagai istri pertamanya hanya agar kita bisa bertemu dan bercengkrama laiknya dua burung hantu yang saling ber-uhu-uhu di dahan pohon yang merangas terkena petir sore harinya ah, aku tak bisa memaksa ku antar kau sejauh jarak yang memungkinkan sedekat mungkin dengan lawan main dramamu berada (19 September 2010)

Sejak Sajak Bermula

kupandangi kembali resep itu dalam kosakatanya yang tiada terlalu perlu ku tau. gemetar jari ini. merinding alat tulis ini. tiap aksara berkilauan pada gemuruh retakan keinginan yang mulai runtuh. masih kusimpan sepenggal kalimat yang tiada sempat terucap, karena Sang Waktu memaksa kita untuk segera berlalu dalam panggilannya, maghrib itu, yang (memang) tidak bisa ditolerir oleh apapun, --bahkan oleh airmata kita yang menyatu dalam luruh. jika memang Neng ingin pergi dari sini. ikuti saja kata hati. bukan berarti aku tidak ingin kamu tetap di sini. tetapi, aku tersadar, rasa sayang ini membebaskan. bukan melepaskan. sejak sajak bermula pada perjalanan. "dirimu adalah milikmu. bukan milikku. atau milik siapa-siapa. seutuhnya," tulisku pada dekstop komputerku yang tak ada suaranya. kupandangi kembali resep itu dalam kosakatanya yang tiada terlalu perlu ku tau. (17 September 2010)

Pertanyaan-pertanyaan miris dalam beberapa kisah yang sedikit melankolis

apa yang bisa menghentikan hujan selain tangis dedaunan yang merindukan kerlip pelangi yang berpedaran. dan ataukah gumpalan kekecewaan bunga yang kelopaknya robek pelan-pelan? kapankah hujan akan terhenti. apakah pagi, saat embun membasuhi dan berdzikir sambil menunggu matahari. ataukah siang, ketika kepenatan dan haus memuncak dan hampir meledak. atau mungkin sore, dimana temaram membayangi kedatangan bulan tatkala senja yang muram menyusuri gedung-gedung dan jalan-jalan kota ini. atau malam? ketika burung-burung hantu duduk murung di dahan-dahan perdu dan menyanyikan berlembar-lembar lagu sendu: "Ku merenung, ku merenung. Kenali hati. Ku melaju, ku melaju. Menyelami hati. Aku tahu siapa aku, sebenarnya. Aku hanya seorang manusia belaka. Yang penuh dengan kesalahan dan kelemahan di dalam diriku. Yang penuh dengan kegelapan dan terang di dalam diri dan jiwaku."* perlukah hujan terus membasahi, jika tanah ini seperti tiada peduli lagi, dan pelan-pelan melirih dalam tangis. (

Senandika Teh Tanpa Gula (2)

1. pada hangatnya, kidung singkat ini bergelora untuk kepingan hati yang bergetar deras dan rasa yang berundak pada angin serta harapan akan hujan. "semoga musim hujan masih berlarian di jalan setapak kebun kecil ini," bisikku. 2. entah harus mulai dari mana. sejuk ini mulai melindungiku. bahkan ketika kejauhan itu melenakan. dan nestapa adalah nestapa tanpa tapal batas. "apakah perjalanan akan berakhir sampai di sini saja? bahkan teh tanpa gula belum tersaji sepenuhnya?" ukirku pada tepian secangkir teh hangat berwarna pekat yang kemudian menjadi sejuta cerita. sementara dirinya sendiri pun penuh rasa duga. ah, andai kau tahu, di beranda negeri atas angin itu, kehangatan adalah kemewahan. 3. ah, keniscayaan yang membuatku seperti ini. saat sebuah ketidakyakinan yang menjelma dan merongrongku ke bawah tangga. mendorongku jatuh dari kaki langit. masihkah sayang, kau simpan sejumput kisah kita yang baru lalu, yang selalu menguap dari secangkir teh tanpa gula yang kau

Senandika Teh Tanpa Gula (1)

biasanya, selepasnya pukul setengah tiga. sambil tersenyum. di lantai dingin masjid pinggir jalan. kita bergegas memasang sepatu. lalu berlalu bersama angin dan rintik hujan "aku tadi ketiduran lagi di depan komputer," bisikmu sambil tertawa kecil sementara jemari halusmu menyusuri punggungku yang berdebu (jeda) "Neng, aku rindu suasana itu," (jeda) kemudian segelas teh berwarna cokelat seperti tertawa saat kita dengan ketergesaan yang terlampau ketara, mencoba meraih sedikit udara dari masing-masing bibir kita yang mengerucut dari balik koran hari minggu. "Minum dulu tehnya, Aa," lengan kurus dan halus itu, lembut menyecapkannya perlahan. timbulkan getaran yang kian berkeretakan. meski tanpa gula. teh itu manis terasa. hangat. uapnya mengepul begitu saja dan mengembun di kantung mata. "ah, nikmatnya," demikian ujarku berulangkali begitu tepian cangkirnya menyentuh bibirku yang berlapis nikotin. (jeda) pun tak terucap, teanin itu pendamkan kaffei

Andai Saja Aku Adalah Pelangi

andaikan saja aku adalah segaris pelangi dimana mimpi-mimpimu bisa berkelip dalam lirih dan berpelukan pada senja yang temaram akan kuberikan beberapa warna pada kenangan dan kisah di hamparan tanah lalu mengisinya dengan silsilah serta bias-bias yang indah "andaikan saja aku adalah segaris pelangi yang bisa memesonakanmu dalam lengkungannya," tetapi aku adalah hujan dengan gerimisnya yang menyebalkan lunturkan riasanmu basahi busanamu yang termangu di peron stasiun tua menanti kereta terakhir menuju ujung dunia dan memang aku adalah hujan yang penuh kesombongan berkata mampu menanggung semua harapan namun sepasang lenganku bukanlah lengan yang sudah terlalu kau kenal hingga acap kali kau menantap curiga dan menduga-duga "apakah memang ia?" andaikan saja aku adalah pelangi yang mampu memberi cerita dalam jarak tempuh pada suatu pagi dimana restu dan doa akan surga menjadi nyanyian dari bunga-bunga "sialan! aku ingin benar-benar menjadi pelangi!" (15 Agustu

Musim Hujan Masih Panjang

1. kita menyebutnya senja pada saat aku menunggumu di depan minimarket sejak empat bulan itu "kenapa hujan itu ada, selalu saja saat senja?" entahlah, mungkin ia ada untuk menenangkan kau, juga aku yang acapkali bergelora dalam buaian rindu yang melepuh namun ia tak pernah reda dan kau pun tak pernah membuka payung yang selalu tersimpan di dalam tas 2. "aku tak bisa membohongi nurani," getar suraimu bangunkan aku ya, tak apa memang pelangi itu indah tak hanya kau, siapapun akan terpesona dan dalam perjalananmu gemetarku basahi kaki mungil serta mata sendumu yang terus menanti pelangi "tetaplah kau di sini temani perihku," 3. aroma melati gantikan manisnya gula pelan-pelan aku mabuk dalam uapnya sementara tanganku terus merinai pada buaian peluh kemudian luluh dan melekat penuh "ah, seandainya semua indah dan lurus seperti sawah-sawah yang terlihat berkelebat dari jendela kereta," lalu kau menyebutku hujan mungkin karena setiap kita merupa hujan d

Empat Bulan dan Tiap Malam

kerinduan ini teramat panjang, seperti curahan hujan bulan juni yang tiada terlalu peduli. malam itu terlalu panjang, hampir mati aku dibuatnya dalam detik-detik yang bergerak lamban. "ternyata pagi masih lama sayang, kecupan riangmu itu di telingaku adalah ucapan selamat pagi pengganti harum kopi yang hampir habis," empat bulan dan tiap malam. pagi kutunggu dalam diam dan kecemasan akan rindu. (15 Juni 2010)

Hujan dan Kita

Angin: puisi ini berawal dari rasa rindu yang meluruh pada hari yang bergemuruh titik-titik air lalu jatuh menyentuh jejak-jejak langkah kecil itu kau dan aku dua hati yang gamang berpelukan dalam hati yang bergenggaman maka jadilah hujan pada senja yang temaram rumput-rumput kering lalu basah senyum mereka merekah seperti tawa kita diantara buaian dua roda dan kita menjadi hujan di dalam kegetiran bagi masing-masing kita Air: Kau adalah lembaran angin yang berhembus Aku Adalah tetesan air yang bersatu menjadi samudra yang dalam Saat kau menguapkan tetesan air membawanya bersama menuju langit dan mengumpulkannya kembali kau jadikanku cumulonimbus Kita bersatu dalam desau yang berubah menjadi gemuruh pada gelora yang menjadi kilatan cahaya dari angkasa lalu baurkan segala menjadi rintik kembali Maka begitulah alasannya mengapa kita menjadi hujan (29 Mei 2010)

Pemuja Matahari

Sebetulnya aku tidak menyukai senja. Bisa dibilang benci. Pada warnanya yang tidak jelas. Merah bukan jingga bukan. Nuansa gelap, selalu itu yang aku tangkap. Sebuah intro menyeramkan penghantar malam menggantikan siang. Karena aku adalah pemuja matahari, aku tak pernah mau siang berganti. Matahari yang setia memberiku cahaya. Mencubit pipiku di pagi hari dengan sinarnya, membuat mataku kembali terbuka. Tersenyum geli melihat bunga-bunga mekar karena sentuhan sinarnya dengan tersipu malu. Matahari memberiku hidup kesekian kalinya setelah aku mati sesaat di malam yang gelap. Karena aku adalah pemuja matahari, maka aku membenci senja yang datang memaksa. Menyembunyikan sinar pelan-pelan ke balik ketiaknya. Sangat menyebalkan saat ia kulihat tengah memereteli kelopak matahari satu-satu sambil tertawa diiringi tatap mencurigakan sang bulan yang mengintip dari sudut cakrawala. Apa mereka bersekongkol? Aku rasa iya. Senja lebih identik dengan malam, dan malam adalah kubangan sang bulan. (24

Hanya Ingin Kau

ketika malam datang dan merupa segala kerinduan, tersadar aku sendiri di ujung mimpi segenggam keinginan berharap akan kehadiranmu, di sisiku yang membeku hanya cahaya bulan yang mengitariku, bangunkan aku dari ranjang yang berdebu ada sedikit pertanyaan yang mengambang dalam batas pendengaran, apakah kau tahu betapa dinginnya di sini? bodohnya aku ketika tersadar, tak ada lengan mungilmu yang memelukku kemudian tersesat dan hilang arahlah aku, seperti matahari yang terbenam tanpa garis cakrawala tiada dapat bermimpi, bergerak terlalu cepat saat aku sendiri hanya ingin kau di sampingku, lambatkan putaran waktu aku merindu, seperti deburan ombak yang tak mencapai karang (24 Mei 2010)

Sajak Sebelum Tidur (3)

seperti nyanyian jangkrik. aku akan merangkai dengkurmu menjadi komposisi dalam hidup tak berharmoni. menderasnya dalam birama sederhana. duatiga nada. hanya agar tiada lagi ruang hampa. pada esok. pada lusa. atau, pada suatu hari baik nanti. (16 Maret 2010)

Baranya yang Terluka

(sebuah Ode utk Anggur Putih) Kata-kata begitu hina ternyata, tak lagi bermantera, tiada lagi makna, dan sepi. Pledoimu ditanggapi sinis oleh kibaran buntut dari layang-layang yang melayang kian kemari dipermainkan angin senja setelah beberapa saat yang lalu benangnya putus. "Tamparlah aku lagi dengan ciduhan air liurmu, Lelakiku! Ludahi kembali dengan air kencingmu, Lelakiku!" jeritmu di bibir botol bir yang kita beli di lapo tuak simpang empat, saat itu. Sementara di luar, matahari sore masih asyik bermain dengan nyanyian dan menggoda babu-babu tua yang mengangkat jemuran baju tuannya di pekarangan belakang rumah-rumah mewah di pinggiran kota kita itu. "Bangsat! Aku sungguh-sungguh mencintaimu! Tendanglah lagi aku, wahai Lelakiku! Perkosalah lagi harga diri ini dan keluargaku! Aku akan belajar menikmati itu!" kekehmu dalam intonasi kegeraman dan amarah yang meruap lalu menjadi satu dengan awan biru berpolusi. *** Sahabat, masihkah adakah bara-bara kebencian dan ci

Tetesan Hujan dalam Misteri Berkepanjangan

"apa yang menyebabkan turunnya hujan?" pertanyaan yang sama terlontar dari dua kelopak kita sore itu. senja yang muram tiada menggantung di hamparan langit berwarna kelabu sore itu, meski rintiknya mulai membasahi kemeja hitamku. lalu sebuah jawaban yang agak sombong terlantun mengayun dari debu-debu yang meruak dari jalan berlubang yang tak terlihat oleh lampu sein motorku yang kerlap-kerlip, "keberadaan kalian mendatangkan rezeki kepada yang lain!" seru mereka sebelum menempel di bodi kendaraan yang lalu lalang menuju pulang, seperti kita. pertanyaan itu masih menggantung begitu saja, meski hujan sudah reda saat kita menyusuri kegelapan menuju dataran tinggi tempatmu bersemayam. "duhai, biarlah tersisakan tetesan itu pada genting-genting tua yang meluncur begitu saja di beranda. biarlah. tetapi, bukankah dinginnya masih terasa, bukan? bahkan mendungnya masih setia. sisakan beberapa potong misteri bagi kita tuk ditelusuri. duhai, pagi memang masih lama, dan me

Surat Kesembilanbelas

Jum'at, 30 April 2010 Untuk Melati di Dataran Tinggi, Apa kabarmu, Melati? Masihkah adakah rona itu, rona senja yang kembali ada semenjak sang warna tiada lagi melekat pada ia? Masihkah ujung bibirmu melagukan selarik senyum dan manyun yang lucu? Besok adalah Hari Buruh Se-Dunia. Hari Raya kita. Lebaran bagi kaum-kaum seperti kita. Buruh. Pesuruh. Dan, surat ini bukanlah tertulis karena aku terkena euforia atau sentimen semata. Aku tidak berorasi. Suaraku tak lantang dan berwibawa. Pun tatap mataku tak bisa provokatif. Aku berorasi dalam tulisan. Dalam kata-kata yang berbunyi. Surat ini adalah gugatan kepada kehidupan yang membuat kita menjadi buruh akan keinginan dan harapan-harapan. Oh, sebutkanlah kita menjadi penguasa atau pengusaha. Apakah kita tiada lagi menjadi buruh? Tubuh kita adalah buruh sejatinya. Aliran darah adalah buruh bagi jantung. Bekerja tiada henti, 24 jam sehari, asupkan oksigen, protein, atau apalah namanya. Jantung pun begitu. Mata pun begitu. Nurani pun begi

Monolog Kopi yang Kemanisan (4)

12. Hmm, kopi hitam ini nikmat sekali. Kental. Dan, tidak seberapa manis. Memang segini seharusnya takaran kopi itu. Cukup dua sendok makan kopi dan satu seperempat gula. Kemudian diseduh dengan air panas mendidih pada cangkir berukuran sedang. Tidak usah penuh-penuh, cukup tigaperempat dari cangkir tersebut. Lalu diaduk dengan sendok menyentuh dasar gelas atau cangkir. Biar kopinya melebur sempurna dengan air panas. Tak hanya itu, cara menikmatinya pun tidak sembarangan. Tiup sedikit, agar tidak terlalu panas ketika menyentuh bibir lalu tempelkan, ingat, hanya ujung bibir saja yang menempel. Lalu seruput dengan semangat, sampai menimbulkan bunyi yang khas, “Sruuuuupphhhtt!!”. 13. Hmm, bagiku, minum kopi, terlebih kopi hitam bubuk, bisa menimbulkan ekstase, ya seperti ibadah mungkin. Ada kenikmatan tersendiri ketika cairan kafein tersebut mengalir melewati lidah kemudian masuk ke tenggorokan dan berakhir di perut. Ada imaji yang tercipta saat uap kopi itu ikut masuk dan menyesap ke dal

Segelas Es Teh Manis

selayaknya es teh manis, kau taburi gula pada hati yang meringis. gelasku bergetar dalam debaran pada matamu yang memantulkan aku. "hmm, manis," bisikku melewati sulur rambut hitammu yang sebagian menutupi wajahku. dua lembar bibir kita kemudian menari kembali dalam birama yang sama. dalam getaran yang merindukan. "sepertinya, aku sudah kecanduan kamu," petikku dalam tangga nada yang berirama merahjambu. lingkaran rindu itu mencegah aku untuk pulang lebih cepat. mendekap dan beruntai kian panjang. kita berbagi debaran seiring jarum detik yang lentik. "10 menit lagi. aku ingin uapkan kerinduan ini," pinta jemariku mengiba. dan memang benar kata orang, waktu takkan terasa bila kita mencinta. kita begitu haus dan kering. segelas es teh manis itu tiada pernah kosong. terisi lagi dan lagi. "hmm, manis," kataku lagi di tepian kelopakmu. (21 April 2010)

Kontemplasi dalam Lamunan

kontemplasi dalam lamunan bulu mata itu berderap pada jajaran oh, duhai kekasih dengan pesonamu teteskan airmata pada gelas anggurku lihatlah dengan kedua mata indah itu lihatlah betapa kau berarti bagiku kue dan susu ini manis, ternyata (jeda) aku adalah malaikat pemimpi aku adalah khayalan yang berpawai aku ingin kau mengetahui apa yang kupikirkan tak perlu kau mengira-ngira lagi (jeda) kau tiada tahu darimana ku berawal kita tidak tahu tujuan atau kemana kita akan pergi hanya mengalir dalam hidup seperti ranting yang terhanyut pada aliran sungai ikuti lekukannya sampai ke muara dan, kadang terjebak pada arus (jeda) aku akan menjagamu kau pun akan menjagaku itulah yang semestinya akan terjadi (jeda) tidakkah kau mengetahui aku? tidakkah kau mengetahui aku, sekarang? (18 April 2010)

Setengah Jam Setengah Berpelukan

alkisah, dahulu hujan rintiknya melagukan kesepian. uap dinginnya berkeretak pada riap sunyi dedaunan. bekukan bulir airmataku yang mengalir dalam ketergesaan. (jeda) 1. entah kenapa setiap kita merupa manusia, langit selalu meneteskan air matanya. tangis sedih atau bahagiakah ia? namun, aku suka hujan malam itu. lembut mengalir di sela-sela jariku yang menelusupi ruas kelopakmu. 2. setengah jam setengah berpelukan. binar itu menembusku. agak dingin karena angin. "dingin. aku mau merokok," bisikku di bawah tatapanmu yang kemudian menjadi tajam. sebungkus rokok lalu basah. kupatahkan semua lalu melepuhkannya pada etalase tong sampah. senyummu sisihkan dingin itu ke kantung belakang celana jins biruku. 3. jemari kita menyatu pada hangat pada untaian derasnya tirai hujan sabtu malam. butir airnya melepas semua ambigu dan keraguan. aku merasa nyaman dan tenang di senjamu. (jeda) tempo hari, lubang di tengah jalan itu merajut rindu meski hitungan kesepuluh belum berlalu. &quo

Kulukai-kulari-kumati

tiada sengaja kulukai kelopaknya. keraguan ini kambing hitamnya. "bulirku meretak pada rangkaian dahan pete," kata dia dalam helaian minggu ke empat yang terasa jahat. aku merasa bersalah kemudian. sebenarnya, aku masih ingin tetap bercanda di tiap robekan helai kelopaknya. namun keraguan ini amat mengganggu. ketidaknyamanan pada hati pada diri. "aku cemburu dalam untaian ambigu!" jeritku dari dalam lubang tempatku terjatuh. duhai melati, andai tiap senja kau selalu ada. andai setiap malam kita selalu bersendawa. tanpa perlu kita terikat pada suatu ekspektasi dan hanya bergantung pada kompromi dan cuma saling mengelus pipi dengan toleransi. "aku merasa amat bersalah kemudian!" melati pada dataran tinggi. aku pergi ke tempatmu, bukan untuk memetik, hanya lirik dan berlirih. (6 April 2010)

Geram Melati

melati, harmoni itu agak terganggu dengan datangnya sedikit rasa malu. terbunuh akan kecemasan yang tak perlu. ya, lempar saja aku dengan makian itu. rasa luka itu terlalu mengena. ketakutan aku akan bentang sayapnya. berulangkali terbakar. acapkali menggelepar. namun, gemerutuk gerammu membawaku pada perjalanan yang menyenangkan. (jeda) ada sajak yang membeku pada catatan harian ketika tawa dan canda terpenggal. biarlah berlalu. satu akan membuat catatan yang baru. karena dari semua yang pernah aku jalani. di situ yang berikan damai. ada penggalan cerita yang tercecer pada aksara penuh iba. pada deretan kata penuh kebodohan waktu yang tak berwarna. pada coretan dinding kearifan yang hilang kendali. namun, ada pula retakan yang mulai terjahit dengan nyaman. (jeda) melati, masih ku simpan rindu itu. pada percakapan tengah malam dalam sebaris kalimat tak selesai dan sketsa doa tentang rona akan senja. pada senjamu kutanggalkankan rasa malu. kemudian membuangnya ke sudut mati akan pilu. &

Rajam Rejam Resam

kau tertatih dalam luka. rajam rindumu sendiri yang melecutnya. terkapar. lelah. tapi tak punya asa tuk berulah. sebutlah kau orang yang terluka. pun demikian dengan aku. luka ku menganga. banal. brutal. serap jiwa. serat jiwa. sarap jiwa. "kalian orang-orang yang terluka. menyatulah pada gemintang dan kegetiran!" koor lembaran-lembaran kertas yang tersunyi dalam padang ilalang. dibalik percakapan-percakapan tengah malam itu. kita saling menangisi pemberlajaran akan kepasrahan pada jiwa. datang mengisi presensi. silih berganti dengan tuntutan dan geram harapan. jangan ragukan. takdir itu tlah terbawa kita pada alurnya. dan akan terikuti sampai mana muaranya. dalam batas yang mencekikkan doa. akan harap untuk bisa melebur bersama. (30 Maret 2010)

Tak Lagi Merona

"berjanjilah! untuk tetap melantunkanku!" lenguhmu lemah pada warna-warna yang berjingkrakan dengan gelora jauh ke ujung negeri tanpa tepi tempat awal mula pelangi. warna-warna menjadi satu dengan ragu. tinggalkan satu yang tak lagi utuh. "bawalah setengahku. itu rumahmu. itu tanda bacamu," bisikmu mesra pada dedaunan beku yang berserakan di halaman lembar ambigu. tajam angin terbangkan dedaunan beku. lunturkan warna pada kelopakmu. dan semenjak itu, kau, melati, tak lagi putih. tak lagi merona meski senja merupa di gerimis hujan hari minggu. genanganmu mengering dan berdebu dalam lipatan kelopak waktu. rintikmu enggan menyusuri sudut-sudut yang selalu hening tanpa warna tanpa luka. "aku menantimu. bawalah kembali warna perdu. rangkai pada aku," geliatmu pada pagi kesekian kali kau menunduk dan berkesah di bulir embun sambil menantap rindu dari pinggir waktu. masih kau simpan rindu itu. di sebaris kalimat tak selesai. dulu, saat ini, dan mungkin nanti dita

Sajak Pertama untuk Melati

pada rumpun kata kudapati ia. melati yang terluka. kelopaknya berbelah sebelah. kupanggil ia, "Melati," karena indahnya tak terperi. karena tiap kelopaknya penuh dengan mimpi. "aku ingin terbang ke ujung lengkung pelangi," isaknya pada kelebat waktu yang bergerak maju dan tinggalkan rindu di tiap ujung persinggahan. duabelas gurindam ia ciptakan dalam perjalanan ke ujung lengkung pelangi. satu gurindam untuk tiap kelopak yang terkelupas oleh hembus kehampaan. "mengertilah atman sebelum terpejam!" seruku dari kejauhan. ah, ingin kubuang segala puisi dan cerita cinta serta coret gambar yang tak perlu itu. (26 Maret 2010)

Dalam Ruang ini

dalam ruang ini kita berpapasan pada resolusi tanpa pertemuan. tiada kata hanya aksara. relasi terjaga pada rinduan rupa. ketika cerita menjadi lara. titik-titik kata adalah airmata. garis lengkung merupa tawa. kita bersatu pada rindu pada hitungan yang berlalu. kau mencari makna aku melupakan gelora. lalu. komentar ketiga jadi titik awal dunia. dalam ruang ini kita adalah tiada. (20 maret 2010)

Kala Hujan

Rintik. Bau tanah yang basah. Bibirmu pecah-pecah. Telingaku rengkah. Biola itu. Mimpimu. Melengking. Jarimu meleset 2 oktaf. Kamu. Mimpiku. Gitarku sumbang. Senar No 6 tak ada. Hujan. Jalan berkubang. Pengojek payung. Seribu sekali jalan. Bajuku kuyup. Kaus kaki meletup. Sepatu baru. Hilang di masjid samping gardu. Tiba-tiba saja aku jadi benci suara biola. (29 Januari 2010)

Terbanglah, Kupu-kupu

karena engkau ulat. kau hanya bisa merayap. dalam pelan berharap. menjadi kupu-kupu yang menggeliat. tapi tak usah ragu. raih saja mimpi-mimpi itu. karena aku akan selalu menjagamu. dalam takzim. dari balik daun ranting angin siang malam yang bergeming. kupu-kupu, terbanglah karena engkau kupu-kupu. kau akan terbang berderap. dengan keinginan mengepak sayap. terbanglah jauh. reguk semua mimpi itu. karena aku akan selalu menjagamu. dalam geming. dari balik daun ranting angin siang malam yang bertakzim. (23 Desember 2009)

Monolog Kopi yang Kemanisan (3)

9. lagi dan lagi kubuat kopi. dua cangkir kini tersaji. satu takaran satu ukuran. dua sendok makan penuh kopi. satu seperempat gula putih. pahit. kental. dan berwarna pekat hitam. lagi dan lagi kubuat kopi. dua cangkir kini menari dalam aroma. menggelora. satu untukku yang saat ini mengangkat cangkir dengan tangan bergetar. dan satu untukmu, yang sekarang belum kembali dari keterasingan. 10. "aku rindu kopi pahit," bisikmu ketika akhirnya engkau kembali. "dan, aku pun rindu padamu yang selalu membuat kopi pahit itu," tambahmu. aku terdiam dalam getar-getar yang melagukan rasa melayang. "aku hanya mengerti rasa pahit," jawabku. engkau menghirup kopi itu dalam suasana yang damai. suasana yang juga hanya aku punya dan selamanya. "nikmat mana? pahit atau manis?" tanyaku ketika hirupan terakhirmu menandaskan secangkir penuh kopi lampung yang mengental dalam cangkir yang berbayang. 11. ada kopi yang mengental saat engkau mengeluh tentang hidup yang ban

Surat Kedelapanbelas

Minggu, 10 Januari 2010 Untuk kekasihku, yang hampir saja menjadi sisa-sisa keraguan Berteman setengah batang keharuan, seperempat gelas kecemasan, dan sesendok teh awing-awang. Aku bernyanyi di depan kamarku. Suaraku sumbang, pilek ini belum terlalu berkurang. Pun, dengan bunyi gitarku, tak kalah sumbang. Senar enamnya mati. Senar duanya dari kawat. Senar tiga tidak ada. Sebuah harmoni akan cinta kasih dari Iwan Fals -salah seorang musisi kebangganku, “Kembang Pete” kulantunkan patah-patah. Kuberikan padamu/Setangkai kembang pete/Tanda cinta abadi namun kere Buang jauh-jauh/Impian mulukmu/Karena kita tak boleh bikin uang palsu Kasih sayangku ini miskin. Hanya niat baik yang aku punya, yang lagi-lagi aku katakan. Ualng dan berulang. Bukan apa-apa, karena toh, kita memang miskin, meski ada beberapa lembar uang berwarna merah di dompetku. Miskin. Seperti negeri ini. Miskin kepercayaan. Miskin keadilan. Miskin kompromi. Miskin segala-galanya. Saking miskinnya, para pejabat, melulu minta a