Langsung ke konten utama

Surat Kesembilanbelas

Jum'at, 30 April 2010
Untuk Melati di Dataran Tinggi,

Apa kabarmu, Melati? Masihkah adakah rona itu, rona senja yang kembali ada semenjak sang warna tiada lagi melekat pada ia? Masihkah ujung bibirmu melagukan selarik senyum dan manyun yang lucu?

Besok adalah Hari Buruh Se-Dunia. Hari Raya kita. Lebaran bagi kaum-kaum seperti kita. Buruh. Pesuruh. Dan, surat ini bukanlah tertulis karena aku terkena euforia atau sentimen semata.

Aku tidak berorasi. Suaraku tak lantang dan berwibawa. Pun tatap mataku tak bisa provokatif. Aku berorasi dalam tulisan. Dalam kata-kata yang berbunyi. Surat ini adalah gugatan kepada kehidupan yang membuat kita menjadi buruh akan keinginan dan harapan-harapan.

Oh, sebutkanlah kita menjadi penguasa atau pengusaha. Apakah kita tiada lagi menjadi buruh? Tubuh kita adalah buruh sejatinya. Aliran darah adalah buruh bagi jantung. Bekerja tiada henti, 24 jam sehari, asupkan oksigen, protein, atau apalah namanya. Jantung pun begitu. Mata pun begitu. Nurani pun begitu.

Duhai Melati, pernahkah kau menyesali diri yang terbeli. Tentu saja iya, kan? Semua manusia pernah merasa begitu. Tak terkecuali. Melati, angin mendadak berhenti bukan karena musim berganti. Pun dengan kita. Akankah penyesalan menjadi yang terzolimi membuat hati mati? Ku harap tidak, dan tidak akan pernah.

Kita adalah kaum-kaum terhebat sepanjang jalan negeri ini masih berlubang!

Komentar