Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2010

Pemuja Matahari

Sebetulnya aku tidak menyukai senja. Bisa dibilang benci. Pada warnanya yang tidak jelas. Merah bukan jingga bukan. Nuansa gelap, selalu itu yang aku tangkap. Sebuah intro menyeramkan penghantar malam menggantikan siang. Karena aku adalah pemuja matahari, aku tak pernah mau siang berganti. Matahari yang setia memberiku cahaya. Mencubit pipiku di pagi hari dengan sinarnya, membuat mataku kembali terbuka. Tersenyum geli melihat bunga-bunga mekar karena sentuhan sinarnya dengan tersipu malu. Matahari memberiku hidup kesekian kalinya setelah aku mati sesaat di malam yang gelap. Karena aku adalah pemuja matahari, maka aku membenci senja yang datang memaksa. Menyembunyikan sinar pelan-pelan ke balik ketiaknya. Sangat menyebalkan saat ia kulihat tengah memereteli kelopak matahari satu-satu sambil tertawa diiringi tatap mencurigakan sang bulan yang mengintip dari sudut cakrawala. Apa mereka bersekongkol? Aku rasa iya. Senja lebih identik dengan malam, dan malam adalah kubangan sang bulan. (24

Hanya Ingin Kau

ketika malam datang dan merupa segala kerinduan, tersadar aku sendiri di ujung mimpi segenggam keinginan berharap akan kehadiranmu, di sisiku yang membeku hanya cahaya bulan yang mengitariku, bangunkan aku dari ranjang yang berdebu ada sedikit pertanyaan yang mengambang dalam batas pendengaran, apakah kau tahu betapa dinginnya di sini? bodohnya aku ketika tersadar, tak ada lengan mungilmu yang memelukku kemudian tersesat dan hilang arahlah aku, seperti matahari yang terbenam tanpa garis cakrawala tiada dapat bermimpi, bergerak terlalu cepat saat aku sendiri hanya ingin kau di sampingku, lambatkan putaran waktu aku merindu, seperti deburan ombak yang tak mencapai karang (24 Mei 2010)

Sajak Sebelum Tidur (3)

seperti nyanyian jangkrik. aku akan merangkai dengkurmu menjadi komposisi dalam hidup tak berharmoni. menderasnya dalam birama sederhana. duatiga nada. hanya agar tiada lagi ruang hampa. pada esok. pada lusa. atau, pada suatu hari baik nanti. (16 Maret 2010)

Baranya yang Terluka

(sebuah Ode utk Anggur Putih) Kata-kata begitu hina ternyata, tak lagi bermantera, tiada lagi makna, dan sepi. Pledoimu ditanggapi sinis oleh kibaran buntut dari layang-layang yang melayang kian kemari dipermainkan angin senja setelah beberapa saat yang lalu benangnya putus. "Tamparlah aku lagi dengan ciduhan air liurmu, Lelakiku! Ludahi kembali dengan air kencingmu, Lelakiku!" jeritmu di bibir botol bir yang kita beli di lapo tuak simpang empat, saat itu. Sementara di luar, matahari sore masih asyik bermain dengan nyanyian dan menggoda babu-babu tua yang mengangkat jemuran baju tuannya di pekarangan belakang rumah-rumah mewah di pinggiran kota kita itu. "Bangsat! Aku sungguh-sungguh mencintaimu! Tendanglah lagi aku, wahai Lelakiku! Perkosalah lagi harga diri ini dan keluargaku! Aku akan belajar menikmati itu!" kekehmu dalam intonasi kegeraman dan amarah yang meruap lalu menjadi satu dengan awan biru berpolusi. *** Sahabat, masihkah adakah bara-bara kebencian dan ci

Tetesan Hujan dalam Misteri Berkepanjangan

"apa yang menyebabkan turunnya hujan?" pertanyaan yang sama terlontar dari dua kelopak kita sore itu. senja yang muram tiada menggantung di hamparan langit berwarna kelabu sore itu, meski rintiknya mulai membasahi kemeja hitamku. lalu sebuah jawaban yang agak sombong terlantun mengayun dari debu-debu yang meruak dari jalan berlubang yang tak terlihat oleh lampu sein motorku yang kerlap-kerlip, "keberadaan kalian mendatangkan rezeki kepada yang lain!" seru mereka sebelum menempel di bodi kendaraan yang lalu lalang menuju pulang, seperti kita. pertanyaan itu masih menggantung begitu saja, meski hujan sudah reda saat kita menyusuri kegelapan menuju dataran tinggi tempatmu bersemayam. "duhai, biarlah tersisakan tetesan itu pada genting-genting tua yang meluncur begitu saja di beranda. biarlah. tetapi, bukankah dinginnya masih terasa, bukan? bahkan mendungnya masih setia. sisakan beberapa potong misteri bagi kita tuk ditelusuri. duhai, pagi memang masih lama, dan me

Surat Kesembilanbelas

Jum'at, 30 April 2010 Untuk Melati di Dataran Tinggi, Apa kabarmu, Melati? Masihkah adakah rona itu, rona senja yang kembali ada semenjak sang warna tiada lagi melekat pada ia? Masihkah ujung bibirmu melagukan selarik senyum dan manyun yang lucu? Besok adalah Hari Buruh Se-Dunia. Hari Raya kita. Lebaran bagi kaum-kaum seperti kita. Buruh. Pesuruh. Dan, surat ini bukanlah tertulis karena aku terkena euforia atau sentimen semata. Aku tidak berorasi. Suaraku tak lantang dan berwibawa. Pun tatap mataku tak bisa provokatif. Aku berorasi dalam tulisan. Dalam kata-kata yang berbunyi. Surat ini adalah gugatan kepada kehidupan yang membuat kita menjadi buruh akan keinginan dan harapan-harapan. Oh, sebutkanlah kita menjadi penguasa atau pengusaha. Apakah kita tiada lagi menjadi buruh? Tubuh kita adalah buruh sejatinya. Aliran darah adalah buruh bagi jantung. Bekerja tiada henti, 24 jam sehari, asupkan oksigen, protein, atau apalah namanya. Jantung pun begitu. Mata pun begitu. Nurani pun begi