Langsung ke konten utama

Baranya yang Terluka

(sebuah Ode utk Anggur Putih)

Kata-kata begitu hina ternyata, tak lagi bermantera, tiada lagi makna, dan sepi. Pledoimu ditanggapi sinis oleh kibaran buntut dari layang-layang yang melayang kian kemari dipermainkan angin senja setelah beberapa saat yang lalu benangnya putus.

"Tamparlah aku lagi dengan ciduhan air liurmu, Lelakiku! Ludahi kembali dengan air kencingmu, Lelakiku!" jeritmu di bibir botol bir yang kita beli di lapo tuak simpang empat, saat itu.

Sementara di luar, matahari sore masih asyik bermain dengan nyanyian dan menggoda babu-babu tua yang mengangkat jemuran baju tuannya di pekarangan belakang rumah-rumah mewah di pinggiran kota kita itu.

"Bangsat! Aku sungguh-sungguh mencintaimu! Tendanglah lagi aku, wahai Lelakiku! Perkosalah lagi harga diri ini dan keluargaku! Aku akan belajar menikmati itu!" kekehmu dalam intonasi kegeraman dan amarah yang meruap lalu menjadi satu dengan awan biru berpolusi.

***

Sahabat, masihkah adakah bara-bara kebencian dan cinta yang hendak kau muntahkan di pangkuanku. Masihkah tangismu akan membasahi pundak ini dalam kecepatan yang lambat pada ruang lingkaran yang buta. Kemudian mati ditelan gelapnya pikiran, penatnya ingatan yang bertambah lagi dan lagi. Merangkai satu dan beberapa ucapan yang seharusnya terucap, tapi hanya terendap dalam-dalam pada sudut kegelapan.

"Terjadilah apa yang dikehendaki. Berkali-kali dilukai pisau cinta. Mawarku dicuri dan dipajang dalam jambangan emas. Jari-jariku yang cuma daging, darah, dan tulang tak bisa lagi memetik dawai-dawai musik cinta. Tidak, Lelakiku. Tak akan kuhapus air mata ini. Tak akan kulupakan kenangan hina ini. Tetapi, aku mencintaimu," tulismu pada selembar rupiah pecahan sepuluhribuan yang kau pakai membayar ongkos bis saat kita pulang.

(17 Mei 2010)

Komentar