Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2010

Senandika Teh Tanpa Gula (2)

1. pada hangatnya, kidung singkat ini bergelora untuk kepingan hati yang bergetar deras dan rasa yang berundak pada angin serta harapan akan hujan. "semoga musim hujan masih berlarian di jalan setapak kebun kecil ini," bisikku. 2. entah harus mulai dari mana. sejuk ini mulai melindungiku. bahkan ketika kejauhan itu melenakan. dan nestapa adalah nestapa tanpa tapal batas. "apakah perjalanan akan berakhir sampai di sini saja? bahkan teh tanpa gula belum tersaji sepenuhnya?" ukirku pada tepian secangkir teh hangat berwarna pekat yang kemudian menjadi sejuta cerita. sementara dirinya sendiri pun penuh rasa duga. ah, andai kau tahu, di beranda negeri atas angin itu, kehangatan adalah kemewahan. 3. ah, keniscayaan yang membuatku seperti ini. saat sebuah ketidakyakinan yang menjelma dan merongrongku ke bawah tangga. mendorongku jatuh dari kaki langit. masihkah sayang, kau simpan sejumput kisah kita yang baru lalu, yang selalu menguap dari secangkir teh tanpa gula yang kau

Senandika Teh Tanpa Gula (1)

biasanya, selepasnya pukul setengah tiga. sambil tersenyum. di lantai dingin masjid pinggir jalan. kita bergegas memasang sepatu. lalu berlalu bersama angin dan rintik hujan "aku tadi ketiduran lagi di depan komputer," bisikmu sambil tertawa kecil sementara jemari halusmu menyusuri punggungku yang berdebu (jeda) "Neng, aku rindu suasana itu," (jeda) kemudian segelas teh berwarna cokelat seperti tertawa saat kita dengan ketergesaan yang terlampau ketara, mencoba meraih sedikit udara dari masing-masing bibir kita yang mengerucut dari balik koran hari minggu. "Minum dulu tehnya, Aa," lengan kurus dan halus itu, lembut menyecapkannya perlahan. timbulkan getaran yang kian berkeretakan. meski tanpa gula. teh itu manis terasa. hangat. uapnya mengepul begitu saja dan mengembun di kantung mata. "ah, nikmatnya," demikian ujarku berulangkali begitu tepian cangkirnya menyentuh bibirku yang berlapis nikotin. (jeda) pun tak terucap, teanin itu pendamkan kaffei

Andai Saja Aku Adalah Pelangi

andaikan saja aku adalah segaris pelangi dimana mimpi-mimpimu bisa berkelip dalam lirih dan berpelukan pada senja yang temaram akan kuberikan beberapa warna pada kenangan dan kisah di hamparan tanah lalu mengisinya dengan silsilah serta bias-bias yang indah "andaikan saja aku adalah segaris pelangi yang bisa memesonakanmu dalam lengkungannya," tetapi aku adalah hujan dengan gerimisnya yang menyebalkan lunturkan riasanmu basahi busanamu yang termangu di peron stasiun tua menanti kereta terakhir menuju ujung dunia dan memang aku adalah hujan yang penuh kesombongan berkata mampu menanggung semua harapan namun sepasang lenganku bukanlah lengan yang sudah terlalu kau kenal hingga acap kali kau menantap curiga dan menduga-duga "apakah memang ia?" andaikan saja aku adalah pelangi yang mampu memberi cerita dalam jarak tempuh pada suatu pagi dimana restu dan doa akan surga menjadi nyanyian dari bunga-bunga "sialan! aku ingin benar-benar menjadi pelangi!" (15 Agustu

Musim Hujan Masih Panjang

1. kita menyebutnya senja pada saat aku menunggumu di depan minimarket sejak empat bulan itu "kenapa hujan itu ada, selalu saja saat senja?" entahlah, mungkin ia ada untuk menenangkan kau, juga aku yang acapkali bergelora dalam buaian rindu yang melepuh namun ia tak pernah reda dan kau pun tak pernah membuka payung yang selalu tersimpan di dalam tas 2. "aku tak bisa membohongi nurani," getar suraimu bangunkan aku ya, tak apa memang pelangi itu indah tak hanya kau, siapapun akan terpesona dan dalam perjalananmu gemetarku basahi kaki mungil serta mata sendumu yang terus menanti pelangi "tetaplah kau di sini temani perihku," 3. aroma melati gantikan manisnya gula pelan-pelan aku mabuk dalam uapnya sementara tanganku terus merinai pada buaian peluh kemudian luluh dan melekat penuh "ah, seandainya semua indah dan lurus seperti sawah-sawah yang terlihat berkelebat dari jendela kereta," lalu kau menyebutku hujan mungkin karena setiap kita merupa hujan d