Langsung ke konten utama

Senandika Teh Tanpa Gula (1)


biasanya, selepasnya pukul setengah tiga. sambil tersenyum. di lantai dingin masjid pinggir jalan. kita bergegas memasang sepatu. lalu berlalu bersama angin dan rintik hujan

"aku tadi ketiduran lagi di depan komputer," bisikmu sambil tertawa kecil sementara jemari halusmu menyusuri punggungku yang berdebu

(jeda)

"Neng, aku rindu suasana itu,"

(jeda)

kemudian segelas teh berwarna cokelat seperti tertawa saat kita dengan ketergesaan yang terlampau ketara, mencoba meraih sedikit udara dari masing-masing bibir kita yang mengerucut dari balik koran hari minggu.

"Minum dulu tehnya, Aa," lengan kurus dan halus itu, lembut menyecapkannya perlahan. timbulkan getaran yang kian berkeretakan.

meski tanpa gula. teh itu manis terasa. hangat. uapnya mengepul begitu saja dan mengembun di kantung mata. "ah, nikmatnya," demikian ujarku berulangkali begitu tepian cangkirnya menyentuh bibirku yang berlapis nikotin.

(jeda)

pun tak terucap, teanin itu pendamkan kaffein ke balik irama yang semakin sama.

lalu beratus-ratus baris sajak kerinduan mengalir begitu saja. bergelimang sendiri dalam tujuannya pada titik yang masih jauh terbentang di bawah sebuah lengkungan.

meski tanpa gula, lebih dari cukup kurasa.

(20 Agustus 2010)

*picture: priskaaprianis.wordpress.com

Komentar