Langsung ke konten utama

Senandika Teh Tanpa Gula (2)

1.
pada hangatnya, kidung singkat ini bergelora untuk kepingan hati yang bergetar deras dan rasa yang berundak pada angin serta harapan akan hujan. "semoga musim hujan masih berlarian di jalan setapak kebun kecil ini," bisikku.

2.
entah harus mulai dari mana. sejuk ini mulai melindungiku. bahkan ketika kejauhan itu melenakan. dan nestapa adalah nestapa tanpa tapal batas.

"apakah perjalanan akan berakhir sampai di sini saja? bahkan teh tanpa gula belum tersaji sepenuhnya?" ukirku pada tepian secangkir teh hangat berwarna pekat yang kemudian menjadi sejuta cerita.

sementara dirinya sendiri pun penuh rasa duga. ah, andai kau tahu, di beranda negeri atas angin itu, kehangatan adalah kemewahan.

3.
ah, keniscayaan yang membuatku seperti ini. saat sebuah ketidakyakinan yang menjelma dan merongrongku ke bawah tangga. mendorongku jatuh dari kaki langit.

masihkah sayang, kau simpan sejumput kisah kita yang baru lalu, yang selalu menguap dari secangkir teh tanpa gula yang kau sajikan tiap hari minggu atau sabtu itu, yang dapat menjadikan kita bertemu. jika bukan malam ini, mungkin saja esok atau lusa?

di mataku gerai angin lembut mengusap butiran bening yang mengalir di pipi memerahmu. dan benakku merangkul jari lalu oret-oret kertas pada malam ini. jadikan ia mimpi kita.

4.
kupersembahkan untukmu: butiran-butiran bening itu. maka, simpanlah satu butir saja di hatimu. agar kau tahu, betapa pedihnya merindukanmu.

aku percaya di dalam ruang kelam ini. tersisa kepingan yang menyatukan kita.

(27 Agustus 2010)

*picture: linatussophy.wordpress.com

Komentar