Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

As I Walked Out One Evening

by W. H. Auden As I walked out one evening, Walking down Bristol Street, The crowds upon the pavement Were fields of harvest wheat. And down by the brimming river I heard a lover sing Under an arch of the railway: 'Love has no ending. 'I'll love you, dear, I'll love you Till China and Africa meet, And the river jumps over the mountain And the salmon sing in the street, 'I'll love you till the ocean Is folded and hung up to dry And the seven stars go squawking Like geese about the sky. 'The years shall run like rabbits, For in my arms I hold The Flower of the Ages, And the first love of the world.' But all the clocks in the city Began to whirr and chime: 'O let not Time deceive you, You cannot conquer Time. 'In the burrows of the Nightmare Where Justice naked is, Time watches from the shadow And coughs when you would kiss. 'In headaches and in worry Vaguely life leaks away, And Time will have his fancy To-morrow or to-day. '

Sauh

cerita itu pernah terputus pada saat kita sama-sama haus lalu semua meratap tangan kita bersidekap mungkin bosan mendengar keluhan rintihan dariku darimu lalu semua meratap kita saling menatap dari kejauhan lambaian bergerak pelan di ujung buritan sepertinya, tiba-tiba kita saling menjauh saat ingin kembali mengangkat sauh

Selamat Datang Kisah Baru*

tiba sudah waktunya menghapus masa laluku yang selama ini terus menyiksaku teringat akan sakitnya dulu ku ditingal kekasih yang sangat aku banggakan tapi kini sudah tak berharga lagi ku sudah ada yang punya selamat datang kisah baru kini ku tak lagi sendiri tak berteman sepi tak berkhayal lagi dan aku bahagia selamat tinggal kisah lalu aku tak akan pernah kembali walau 'tuk sejenak untuk mengingatnya ku tak 'kan peduli *dipopulerkan oleh Jejaka

Surat Untuk Pelangi Pagi Ini

Hujan sudah berhenti tinggalkan angin mati sang gadis pun telah lama pergi langkahkan kaki dan lambaikan jemari Penantiannya bersama jerami paving blok museum pagi ini arca-arca peninggalan dinasti duduk bersisian dalam sepi Meski hujan berlalu sudah kenapa gelap masih berulah di punggung senja yang memerah pada ujung tahun penuh gundah Dimana lengkunganmu duhai pelangi dan awan biru kenapa tak jua penuh hanya mengintip sejak tiga bulan lalu Poster di pagar gedung tua itu juga tahu sebenarnya pelangi seharusnya ada setiap hujan reda wahai, rintik itu pun kurang lebih sama tinggal setitik di ujung tiang lampu merah Dia --gadis itu-- telah lama menantimu selalu berharap rindunya menyentuh lengkunganmu Ia duduk di atas luka berbelai dengan kata: menanti! Duhai pelangi, ia ingin kau kembali jangan biarkan ia sepi terbaring pada malam dan pagi lalu tersiksa racun jemu yang abadi (13 Desember 2010)

Ekspedisi Menuju Ujung Bumi (2)

Bagian Kedua: Dalam Perjalanan Langit mendadak tak bersahabat. Samudera menderu semaunya tiba-tiba. Kapal sang Nahkoda oleng begitu rupa. "Berpeganglah pada sajak dan tiang," jerit panik gelembung-gelembung di sisi barat. Kacau! Lalu semuanya jadi putih. Tersadaria, pelangi tak lagi merupa di garis cakrawala. Pun, tiada terpantul di samudera Pelangi lenyap begitu semua harap tersesap (25 April 2011)

Ekspedisi Menuju Ujung Bumi

(Awal Perjalanan) 1. Angin tertahan. Sedikit mati. Dan, hujan pun pelan-pelan menghilang di balik bayang-bayang bulan. Derai ombak bergerai sendu di tepian itu perahu. Dayung dan layar tiada lagi bergetar, meski di setiap yang tersinggah begitu banyak rasa yang terhampar. Bunga dalam jambangan pun kian layu, berganti perdu bersisian dengan empedu. 2. "Ekspedisi Menuju Ujung Bumi" begitu kata berita setiap hari. Nahkoda berkacamata berdiri dengan bangga di awal perjalanannya. "Saya kuat dan bercahaya," katanya ketika para pewarta mewancara. Lalu robekan kertas warna meletus mengiringi kayuhan pertama. Senyum manis dan wajah yang klimis tersenyum jemawa. "Laut adalah temanku. Dan badai adalah selimutku," ujarnya kembali kepada orang-orang di dermaga. 3. Semburat cahaya melintasi titik air sisa hujan siang hari, lalu melengkung dengan lekuk yang melankoli. Terpecah menjadi tujuh warna. Ah, pelangi yang sempurna. "Amboi! Indah nian pelangi itu," liri

Sajak Bujang Tak Punya Uang

Sabtu ini terlihat sendu ketika kusadari betapa tipis ini saku dompet biru merajuk malu saat kusapa, "Aku kangen kamu," Cicilan motor ponsel canggih dari kantor "Dor!" lemas aku diteror Ingin aku bertualang tapi bisakah bensin dibayar dengan kata: sayang? sementara perut sudah bergoyang karena belum diisi sejak siang Oh hari Sabtu tangki bensin berdebu duhai malam Minggu meringkuk memegang erat perutku (15 Januari 2010)

Kesan Pertama (2)

Senja meredup malu-malu sore itu di pelataran parkir minimarket sebelah gang Jambu senyum angin terbawa bulan kibarkan jilbab putih seorang gadis manis berpakaian Dinas Perhubungan Asap rokokku mengikutinya bersidekap pada aura damai langkah kedua binar matanya bagaikan kunang-kunang berpedar dengan nyaman diantara umang-umang Sebuah bayangan tentang rumah, anak-anak, dan isteri tercinta melambai saat ketika kami beradu mata dua titik hitam ternaungkan alis yang melengkung utuh menatapku teduh demi Tuhan! Hatiku langsung bersimpuh Gemulai tangannya kemudian memegang kendali kuda besi lalu mundur tetapi terhenti ah, ada lubang menghalangi jalan ban belakang ia menoleh seperti meminta bantuan Berdebar, kawan! kubantu ia sekuat tenaga dengan pamrih tahu nama dan nomor ponselnya harapanku membuncah! Jemari lentik itu cantik jenjang, kukunya tiada yang panjang matanya kembali melirikku sementara tangannya meraba saku Tipis bibirnya sedikit terbuka mungkin hendak menyebut nama atau mendiktek

Kesan Pertama (1)

Pertemuan pertama begitu mendebarkan kami berjanji di sebuah perempatan ponsel menempel di kuping dipegang tangan "di atas motor hijau, aku pakai baju hitam," Tak berapa lama, kami segera pulang "aku harus di rumah sebelum jam enam," Pertengahan jalan hujan datang menepi lalu kami di warung emperan baju kami basah dan ku lihat, betapa cantiknya ia Tatapan kami bertemu ssstt.. aku malu kualihkan dengan meminta permen bungkus biru amboi! berdebar rasanya hatiku Kami terdiam menunggu hujan reda harum melati meruap dari pundaknya selagi begitu ku tahu pandangannya menelitiku Sekilas kulihat ia tersenyum matanya melirik bolak balik ah, gede rasa ini hati Astaga! aku salah pakai celana! jeans belel ini robek di pantatnya! (13 November 2010)

Rumah (2)

Debu berpusaran di sepatu gunungku embun di ujung keladi menyambut lesu dalam barisan tak rapi di jalan setapak menuju rumah itu Pundakku memberat kerinduan memuncak airmata beriak tiap langkah seperti terjerat Berpuluh hari sabtu ku mencoba kembali berharap mampu mengintip pagar hijau itu serta mendengar lagi detik jam kayu mahoni Aku tahu, sadar juga memahami rumah itu sudah ada lagi yang menghuni bersihkan bulu-bulu kucing putih dan memberikan semprotan pewangi Lima meter lagi ah, itu dia rumah yang kucinta masih begitu asri Ku bersandar di muka gangnya ingin rasanya segera ke sana sekadar menyapa pintu dan jemurannya Tukang gula-gula selintas lewat dua orang memanggil ia dua tangan saling menggengam erat senyum bahagia terbesit dari bibir mereka Urung, langkah kaki lalu ku kurung iri, sedih, dan rindu luruh jadi satu pada penghuni rumah itu Rumah itu tak lagi untukku, sepertinya daun-daun pun jatuh seperti bulan lelap tidur di pelukannya Mataku gusar bak preman pasar Ramayana ingin

Puisi untuk diri pada tanggal ini

Hari ketiga di bulan pemula membelai manja ujung mata yang masih terjaga Pekik riang sirene patroli polisi lewati ruang ini seperti memotong beberapa mimpi dalam ukuran yang membuat iri Tak perlu hembusan pada lilin untuk membuat semua mimpi itu terjalin cukup kata di relung puisi di untaian tuts keyboard pagi ini Hari ketiga di bulan pemula kumulai kembali segalanya letakkan beban di ruang belakang lalu, terbang! (3 Januari 2011)