Langsung ke konten utama

Rumah (2)

Debu berpusaran di sepatu gunungku
embun di ujung keladi menyambut lesu
dalam barisan tak rapi
di jalan setapak menuju rumah itu

Pundakku memberat
kerinduan memuncak
airmata beriak
tiap langkah seperti terjerat

Berpuluh hari sabtu
ku mencoba kembali
berharap mampu mengintip pagar hijau itu
serta mendengar lagi detik jam kayu mahoni

Aku tahu, sadar juga memahami
rumah itu sudah ada lagi yang menghuni
bersihkan bulu-bulu kucing putih
dan memberikan semprotan pewangi

Lima meter lagi
ah, itu dia
rumah yang kucinta
masih begitu asri

Ku bersandar di muka gangnya
ingin rasanya segera ke sana
sekadar menyapa
pintu dan jemurannya

Tukang gula-gula selintas lewat
dua orang memanggil ia
dua tangan saling menggengam erat
senyum bahagia terbesit dari bibir mereka

Urung,
langkah kaki lalu ku kurung
iri, sedih, dan rindu luruh jadi satu
pada penghuni rumah itu

Rumah itu tak lagi untukku,
sepertinya
daun-daun pun jatuh
seperti bulan lelap tidur di pelukannya

Mataku gusar bak preman pasar Ramayana
inginku berkelebat ke dalam sana
mencuri bingkai-bingkai kenangan lama
lalu bakar aromaku yang tertinggal di sofanya

Tubuhku bergetar
keringatku besar-besar keluar
"Kenapa tidak ku bakar saja,
sebelum semua menyisakan luka!"

Korek kayu seharga seribu
terjentik oleh jari-jari yang layu
ku lempar
tubuhku terbakar!

(14 Desember 2010)

Komentar