Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2010

Monolog Kopi yang Kemanisan (4)

12. Hmm, kopi hitam ini nikmat sekali. Kental. Dan, tidak seberapa manis. Memang segini seharusnya takaran kopi itu. Cukup dua sendok makan kopi dan satu seperempat gula. Kemudian diseduh dengan air panas mendidih pada cangkir berukuran sedang. Tidak usah penuh-penuh, cukup tigaperempat dari cangkir tersebut. Lalu diaduk dengan sendok menyentuh dasar gelas atau cangkir. Biar kopinya melebur sempurna dengan air panas. Tak hanya itu, cara menikmatinya pun tidak sembarangan. Tiup sedikit, agar tidak terlalu panas ketika menyentuh bibir lalu tempelkan, ingat, hanya ujung bibir saja yang menempel. Lalu seruput dengan semangat, sampai menimbulkan bunyi yang khas, “Sruuuuupphhhtt!!”. 13. Hmm, bagiku, minum kopi, terlebih kopi hitam bubuk, bisa menimbulkan ekstase, ya seperti ibadah mungkin. Ada kenikmatan tersendiri ketika cairan kafein tersebut mengalir melewati lidah kemudian masuk ke tenggorokan dan berakhir di perut. Ada imaji yang tercipta saat uap kopi itu ikut masuk dan menyesap ke dal

Segelas Es Teh Manis

selayaknya es teh manis, kau taburi gula pada hati yang meringis. gelasku bergetar dalam debaran pada matamu yang memantulkan aku. "hmm, manis," bisikku melewati sulur rambut hitammu yang sebagian menutupi wajahku. dua lembar bibir kita kemudian menari kembali dalam birama yang sama. dalam getaran yang merindukan. "sepertinya, aku sudah kecanduan kamu," petikku dalam tangga nada yang berirama merahjambu. lingkaran rindu itu mencegah aku untuk pulang lebih cepat. mendekap dan beruntai kian panjang. kita berbagi debaran seiring jarum detik yang lentik. "10 menit lagi. aku ingin uapkan kerinduan ini," pinta jemariku mengiba. dan memang benar kata orang, waktu takkan terasa bila kita mencinta. kita begitu haus dan kering. segelas es teh manis itu tiada pernah kosong. terisi lagi dan lagi. "hmm, manis," kataku lagi di tepian kelopakmu. (21 April 2010)

Kontemplasi dalam Lamunan

kontemplasi dalam lamunan bulu mata itu berderap pada jajaran oh, duhai kekasih dengan pesonamu teteskan airmata pada gelas anggurku lihatlah dengan kedua mata indah itu lihatlah betapa kau berarti bagiku kue dan susu ini manis, ternyata (jeda) aku adalah malaikat pemimpi aku adalah khayalan yang berpawai aku ingin kau mengetahui apa yang kupikirkan tak perlu kau mengira-ngira lagi (jeda) kau tiada tahu darimana ku berawal kita tidak tahu tujuan atau kemana kita akan pergi hanya mengalir dalam hidup seperti ranting yang terhanyut pada aliran sungai ikuti lekukannya sampai ke muara dan, kadang terjebak pada arus (jeda) aku akan menjagamu kau pun akan menjagaku itulah yang semestinya akan terjadi (jeda) tidakkah kau mengetahui aku? tidakkah kau mengetahui aku, sekarang? (18 April 2010)

Setengah Jam Setengah Berpelukan

alkisah, dahulu hujan rintiknya melagukan kesepian. uap dinginnya berkeretak pada riap sunyi dedaunan. bekukan bulir airmataku yang mengalir dalam ketergesaan. (jeda) 1. entah kenapa setiap kita merupa manusia, langit selalu meneteskan air matanya. tangis sedih atau bahagiakah ia? namun, aku suka hujan malam itu. lembut mengalir di sela-sela jariku yang menelusupi ruas kelopakmu. 2. setengah jam setengah berpelukan. binar itu menembusku. agak dingin karena angin. "dingin. aku mau merokok," bisikku di bawah tatapanmu yang kemudian menjadi tajam. sebungkus rokok lalu basah. kupatahkan semua lalu melepuhkannya pada etalase tong sampah. senyummu sisihkan dingin itu ke kantung belakang celana jins biruku. 3. jemari kita menyatu pada hangat pada untaian derasnya tirai hujan sabtu malam. butir airnya melepas semua ambigu dan keraguan. aku merasa nyaman dan tenang di senjamu. (jeda) tempo hari, lubang di tengah jalan itu merajut rindu meski hitungan kesepuluh belum berlalu. &quo

Kulukai-kulari-kumati

tiada sengaja kulukai kelopaknya. keraguan ini kambing hitamnya. "bulirku meretak pada rangkaian dahan pete," kata dia dalam helaian minggu ke empat yang terasa jahat. aku merasa bersalah kemudian. sebenarnya, aku masih ingin tetap bercanda di tiap robekan helai kelopaknya. namun keraguan ini amat mengganggu. ketidaknyamanan pada hati pada diri. "aku cemburu dalam untaian ambigu!" jeritku dari dalam lubang tempatku terjatuh. duhai melati, andai tiap senja kau selalu ada. andai setiap malam kita selalu bersendawa. tanpa perlu kita terikat pada suatu ekspektasi dan hanya bergantung pada kompromi dan cuma saling mengelus pipi dengan toleransi. "aku merasa amat bersalah kemudian!" melati pada dataran tinggi. aku pergi ke tempatmu, bukan untuk memetik, hanya lirik dan berlirih. (6 April 2010)

Geram Melati

melati, harmoni itu agak terganggu dengan datangnya sedikit rasa malu. terbunuh akan kecemasan yang tak perlu. ya, lempar saja aku dengan makian itu. rasa luka itu terlalu mengena. ketakutan aku akan bentang sayapnya. berulangkali terbakar. acapkali menggelepar. namun, gemerutuk gerammu membawaku pada perjalanan yang menyenangkan. (jeda) ada sajak yang membeku pada catatan harian ketika tawa dan canda terpenggal. biarlah berlalu. satu akan membuat catatan yang baru. karena dari semua yang pernah aku jalani. di situ yang berikan damai. ada penggalan cerita yang tercecer pada aksara penuh iba. pada deretan kata penuh kebodohan waktu yang tak berwarna. pada coretan dinding kearifan yang hilang kendali. namun, ada pula retakan yang mulai terjahit dengan nyaman. (jeda) melati, masih ku simpan rindu itu. pada percakapan tengah malam dalam sebaris kalimat tak selesai dan sketsa doa tentang rona akan senja. pada senjamu kutanggalkankan rasa malu. kemudian membuangnya ke sudut mati akan pilu. &