Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2010

Kisah Hingga Pukul Dua

Ruang tamu rumah bercat biru tiga hari sebelum hari Kartini kami mendekatkan hati setelah beberapa hari hanya saling menggenggam jemari Teh hangat tak terlalu manis terhidang berikut panganan pasar koran hari minggu alasnya rokokku tersembunyi di saku celana Ibunya baru saja pergi mengawasi ujian para calon penerus negeri tinggal kami berdua empat mata menantap berlama-lama Ia bersandar di bahuku pipinya halus saat kusentuh "alergiku kambuh," luruh aku saat ia merengkuh Suaranya lirih lalu kami bercerita tentang masa silam tentang semua yang berharga untuk dikenang Ia memintaku bercerita tentang kota kelahiran ibunda dan adik-adikku Dan aku juga meminta hal yang sama Tentang ikhwal darahnya ibu kantin di sekolahnya lamanya magang di Teknora juga tentang adiknya yang kuliah di Jakarta Betapa lucunya saat ia merajuk waktuku bergurau "adikmu cantik ya," Sofa tipis berlapis warna manis di sisi jendela jam kecil kayu mahoni remah-remah roti di kaki kami Kedua bibir kami

Sang Alang

Akulah sang Alang sendirian di antara bebatuan langkahku terpenjara tapi jiwaku melalang buana sekenanya Akulah sang Alang penjaga setia bebungaan dalam keterbatasan serbukku telingkupi mereka Akulah sang Alang mataku selalu terbuka terjaga sepanjang malam hingga pagi menjelang Karena akulah sang Alang berdiri gagah di tengah hembusan badai dan letupan senapan (28 November 2010)

Merejang Jaring

lelaki renta setengah baya erat menggenggam jala satu, dua, tiga hanya itu ikan yang didapatnya "mbok, kita puasa saja, biar itu untuk anak-anak" akhir bulan yang tak terang kembali jala terbentang lengan itu bergetaran sementara ikan tiada terjerang "tak apa Pa'e. Kita masih bisa puasa, uang yang kemaren ta' tabung untuk anak-anak sekolah" (Bd.Lampung; 5 November 2010 )

Teman Bermain

dia, teman bermain sejak kecil menikmati tanah becek di lapangan yang sekarang jadi kontrakan mencari belut di sawah yang sekarang jadi pabrik kain kasa berenang di kali yang sekarang jadi hanya selebar selokan menghirup udara pagi yang sekarang penuh cacimaki supir taksi dan metromini di pinggir Jakarta yang masih polos merona kita bermain hingga perlahan menjadi tua di atas tumpukan sampahnya mendedangkan kematian di pinggir Jakarta yang sekarang makin lebih tidak peduli (Bd.Lampung; 23 November 2010; 02:00 AM)

Kata dan Kita

lalu sajak-sajak menjadi teman penuh keakraban dalam kehidupan yang sudah kuserahkan pada kepasrahan ataukah kehidupan itu sendiri adalah sajak? dibaca dirasa diduga keterkaitan makna pada setiap kata menjalin sulur-sulur yang mengikat dalam setiap tulisannya seperti gerak berkesinambungan dari lengan pada kaki menuju ruang dalam hati begitu perih saat sajak-sajak menjadi ungkapan semua kegundahan maknanya baru ketahuan belakangan berdenyut tiap sudut dalam kata sajak kita merona unsur-unsurnya berlomba pada suatu senja di sisi kalimatnya kita hidup dengan kata hirupkan rangkaiannya berdentinglah, secangkir teh itu lautannya (21 November 2010)

Gerimis

Song by: Kla Project Musim penghujan hadir tanpa pesan Bawa kenangan lama t'lah menghilang Saat yang indah dikau di pelukan Setiap nafasmu adalah milikku Surya terpancar dari wajah kita Bagai menghalau mendung hitam tiba Sekejap badai datang Mengoyak kedamaian Segala musnah Lalu gerimis langit pun menangis Kekasih, andai saja kau mengerti Harusnya kita mampu lewati itu semua Dan bukan menyerah untuk berpisah Sekejap badai datang Mengoyak kedamaian Segala musnah Lalu gerimis langit pun menangis Kekasih, andai saja kau mengerti Harusnya kita mampu lewati itu semua Kekasih, andai saja kau sadari Semua hanya satu ujian 'tuk cinta kita Dan bukan alasan untuk berpisah

Surat untuk calon menantu

Wahai kekasih anakku kau boleh panggil aku apa saja mama, bunda, atau ibu karena sebentar lagi kau pun akan jadi buah hatiku Ibu bahagia mendengar kabar darinya kau memilih dia dampingimu selamanya Sebelum kalian membuka pintu baru dan kami memberi restu izinkan ibu melantunkan sesuatu Calon menantu, sembilan bulan ibu mengandungnya diazani ia oleh si bapak genap delapan bulan dilangkahkan kakinya satu tahun dua bulan ia merengek minta salak Ia memang bukan lelaki bijaksana kerap tingkah dan lakunya membuat kami gelengkan kepala tapi, calon menantuku, yakinlah ia adalah orang yang pertama tiba dan memapahmu saat kau terjatuh dari tangga Sungguh keras kepala ia bahkan keluarga di sini suka pusing dibuatnya tetapi ia akan berada di garis muka meski akhirnya ia mendapat cemoohan dari yang dihadapinya Belikanlah pakaian yang pantas untuk ia sekali saja menjelang hari raya karena ia merasa cukup dengan baju koko dan sarung biru kotak-kotaknya Mengajilah bersamanya ia bukan tak kuat agama ib

Kisah Hujan

(1) Panas matahari dan riak gelombang membentukku. Memuai lalu endapkannya. Kelabu warna tiap-tiap punggungku. Aku naik ke angkasa. Bersenda gurau dengan burung-burung manyar yang kebingunan mencari anaknya. Hembusan angin perlahan bawa aku ke segala penjuru dunia. Begitu tenang melihat semuanya dari sini. Sepi. Sendiri. Memburat pelan-pelan. Perjalanan ini begitu mengasyikan. Tiap benua memiliki rasa yang berbeda. Biru, merah, kuning, hitam. Tetapi, matahari itu kian membuatku penuh. Dan pelan-pelan, rupaku jadi menyeramkan. Kelabu hampir menghitam. Punggung-punggungku semakin membungkuk. Tiap sudutnya dipenuhi titik-titik air dari samudera itu. Ternyata berjalan sendirian tidak menyenangkan. Seperti orang asing di tengah pasar kambing, “Di atas lautan ini aku sendirian. Hampir gila rasanya,” keluhku pada daun kelapa di ujung tanjung. Seperti pendaki gunung, beban di punggungku berat memuat. Titik-titik itu mulai membuncah sedemikian rupa hingga aku tak tahu lagi yang mana. “Kemana ku

Surat Keduapuluh

Kamis, 11 November 2010 Untuk Hamparan Mimpi dan Harapan-ku, Kekasih, Apa kabarmu, kekasih? Sudah lama aku tak menyapamu. Entahlah, aku seperti tiada lagi ada di dunia kita. Bahkan, mimpi-mimpi yang dahulu selalu jadi tempat peraduan, kini seperti menghilang. Aku rindu padamu. Aku ingin bercerita, sedikit, tapi begitu dalam. Beberapa hari yang lalu, perempuan yang membuatku ada menghubungiku. Beliau meminta aku untuk pulang. Bukan hanya "pulang", tetapi benar-benar "pulang" secara harfiah. Kembali dan hidup di sana, kota besar dimana aku tidak pernah suka. *** "Nak, sudah, pulang saja," "Nanti, Bunda. Saya belum bisa," "Apalagi, Nak? Bukannya sudah selesai semua?" "Belum, Bunda," "Lalu apa? Pekerjaan? Atau, kamu masih berharap dengan dia?" "..." "Nak, Bunda tahu semua. Ini mungkin firasat orang tua. Tetapi Bunda rasa, tak ada lagi yan

No Racism, Please?

Malam itu saya dan kawan-kawan menonton semifinal liga Inggris, MU vs Totenham Hotspurs. Tiba-tiba seorang teman nyeletuk, "Ya ampun! Item banget Evra (bek kiri MU). Ga ada lagi yang gantengan apa?" Oh man! Saya cuma bisa nyengir-nyengir miris mendengar celetukan itu. "Sejak kapan kualitas seseorang ditentukan oleh keadaan fisik?" gumamku. Kadang kala saya merasa, kita sangat naif. Contohnya, celetukan teman saya tadi. Walau pun cuma humor, becandaan, celetukan, tetapi itu bisa terdengar sangat menyakitkan. Terlebih, jika seseorang pendengarnya memiliki ciri-ciri fisik seperti si Evra tadi (Negro=item, jelek, keriting). Lalu apa salahnya menjadi seorang negro? Toh sang pelatih sendiri, Sir Alex Ferguson, tidak mempersalahkannya, pun dengan pelatih-pelatih tim lain. Karena hanya satu alasan mereka yang mereka tahu: kualitas. Saya heran, juga geram. Kenapa kita bisa begitu rasis dalam keseharian kita? Media-media pun jadi begitu rasis dalam pemberitaanya. Contohnya,

Musik (kita) yang tak lagi asik

Salah siapa jika perkembangan musik di Sai Bumi Ruwa Jurai ini menjadi mandek. Hanya berorientasi kepada kepentingan pasar? Sore itu, lima pemuda berusia belasan terlihat asik dengan sebuah percakapan di sudut sebuah sebuah studio musik. Masing-masing dari mereka memegang kertas berisi catatan lirik lagu. Beberapa dari mereka memegang gitar akustik. "Ganti aja nih yang ini. Jangan cinta matiku , tapi, mutiara hidupku ," ujar seorang pemuda berperawakan sedang yang duduk agak di sudut. Empat kawannya yang lain setuju. Ia kemudian mencoret sebaris kata yang tertera pada kertas yang ada dihadapannya. Mereka lalu menyanyikan ulang lagu yang baru diubah tersebut. Setelah saya mendengar secara utuh lagu yang akan mereka rekam tersebut. salah seorang diantara mereka berkata, "Wah, bakal keren nih lagu. Abis ini kita tawarin ke label yuk, siapa tahu bisa tembus," ujarnya sambil memetik gitar. Saya kemudian menghampiri dan bertanya tentang motivasi mereka rekaman. Dengan ga

Anak-anak pada dunia kedewasaannya

Ketika Anak-Anak Kehilangan Kekanak-Kanakannya Ketika anak-anak Kehilangan kekanak-kanakannya tiada musik atau tarian yang kini mampu menggambarkan jiwanya Tiada keceriaan dan kepolosan Semua hilang bersama polesan-polesan bedak pergaulan Tiada pakaian yang mampu menggambarkan sisi kekanakannya Pakaian yang dikenakan adalah kedewasaan yang belum semestinya Tiada permainan karet ataupun kelereng karena permainan yang dimainkan adalah permainan kehidupan Ketika anak-anak telah kehilangan masa kanak-kanaknya Secara ikhlas ataupun terpaksa Diberikan atau direnggut oleh zaman Ironis namun kenyataan (010608) ---------- catatan; Puisi di atas saya unduh langsung dari sebuah blog: www.kyokoque.wordpress.com. Saya membahas puisi tersebut karena saya kagum. Mulai dari makna, subjek yang ditujukannya, pemilihan kata-kata yang lugas --baik itu dari pemaknaan leksikal ataupun gramatikalnya. Sebuah kontemplasi pemikiran yang (menurut saya) tidak dangkal. "Ketika anak-anak kehilangan kekanak-kan

"Logisnya" Cinta

Hari masih terlalu pagi. Azan subuh baru saja berhenti. Dan warga sekitar terburu-buru menuju masjid agar tak tertinggal shalat berjamaah. Di luar, embun pun masih enggan menetes dari ujung dedaunan, meski ngengat, jangkrik, dan serangga malam lainnya telah menarik selimut menutupi kepala mereka sambil menunggu malam berikutnya. Dan saya, pun masih bergelut dengan rasa tidak ngantuk seperti biasanya. Hari masih terlalu pagi, saat sebuah teori –atau lebih tepatnya, pemahaman baru— mendadak berkelebat lalu mengendap di benak saya. Sebuah percakapan singkat di ujung waktu imsak menjadi pemicunya. “Maaf kalau aku tidak bisa seperti perempuan lainnya, yang bisa dikunjungi kapan saja, yang punya waktu luang banyak, yang bisa diajak bercinta. Sayang, maafkan aku, dengan segala keterbatasanku,” Pesan itu lalu berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan yang terlontar begitu saja. “Apakah ada perbedaan antara mencintai dan dicintai?”. “Jika ada, apakah akan terlihat dengan nyata?” Lalu seperti ini