Langsung ke konten utama

No Racism, Please?

Malam itu saya dan kawan-kawan menonton semifinal liga Inggris, MU vs Totenham Hotspurs. Tiba-tiba seorang teman nyeletuk, "Ya ampun! Item banget Evra (bek kiri MU). Ga ada lagi yang gantengan apa?" Oh man! Saya cuma bisa nyengir-nyengir miris mendengar celetukan itu.

"Sejak kapan kualitas seseorang ditentukan oleh keadaan fisik?" gumamku.

Kadang kala saya merasa, kita sangat naif. Contohnya, celetukan teman saya tadi. Walau pun cuma humor, becandaan, celetukan, tetapi itu bisa terdengar sangat menyakitkan. Terlebih, jika seseorang pendengarnya memiliki ciri-ciri fisik seperti si Evra tadi (Negro=item, jelek, keriting).

Lalu apa salahnya menjadi seorang negro? Toh sang pelatih sendiri, Sir Alex Ferguson, tidak mempersalahkannya, pun dengan pelatih-pelatih tim lain. Karena hanya satu alasan mereka yang mereka tahu: kualitas.

Saya heran, juga geram. Kenapa kita bisa begitu rasis dalam keseharian kita?

Media-media pun jadi begitu rasis dalam pemberitaanya. Contohnya, tabloid Bola. Sadar ataupun tidak, pasti akan kita temui kalimat-kalimat ataupun kata-kata dalam sebuah berita yang bernada rasis, "Striker kulit hitam andalan Barca ini telah mengemas 5 gol di Liga Champion (misalnya)". Kita lihat, "kulit hitam", kenapa harus mencantumkan hal seperti itu? Yang kita lihat bukan kulitnya kan? Tapi kontribusinya, kualitasnya.

Ini mau tidak mau bisa membawa pembaca ke arah yang menyesatkan: Rasisme. Apakah kita mau mengulang lagi masa-masa kelam? Bisakah kita berkaca pada pengalaman sejarah sendiri. Seperti zaman penjajahan Belanda dulu. Kita (baca: pribumi) dipandang sebelah mata. Diremehkan, setinggi apapun status gelar di belakang nama kita. Dan sekarang, kita, melalui banyolan-banyolan yang menyinggung fisik seseorang (mencoba) menoreh lagi (secara tidak sadar ataupun sadar) kenangan buruk masa lalu.

Kita tak ubahnya pelawak-pelawak sekarang yang becandaannya melulu soal fisik; mulut monyong, gigi tonggos, pendek, gendut, hidung pesek, dan lain sebagainya. Kenapa kekurangan seseorang harus diperolok-olokkan? Tanya sama diri kita sendiri, pasti pernah kita berbuat seperti itu. Saya pun juga pernah.

Citra, penampilan, kulit luar, adalah sesuatu yang menjadi tolok ukur sekarang, dalam segala hal. Apakah kita masih menilai baik buruk seseorang dari tampilan? Lalu kemana penilaian dari segi isi, kualitas, mutu? Contoh kecil lagi, lihat halaman iklan yang ada di koran. Percayalah, dari sepuluh lowongan pekerjaan, saya jamin ada sekitar delapan atau enam lowongan yang mencantumkan "berpenampilan menarik". Hahaha, maaf untuk kawan-kawan yang berwajah ancur atau tidak punya baju bagus, anda terpaksa menganggur meski IPK anda 5.0.

Hey! Kita ini hidup bukan berdasarkan itu semua. Pikir sekali lagi kalo becandaan yang nyangkut-nyangkut fisik. Hati-hati, siapa tau, orang di samping kita bawa golok.

Komentar