Langsung ke konten utama

Kisah Hujan

(1)
Panas matahari dan riak gelombang membentukku. Memuai lalu endapkannya. Kelabu warna tiap-tiap punggungku. Aku naik ke angkasa. Bersenda gurau dengan burung-burung manyar yang kebingunan mencari anaknya. Hembusan angin perlahan bawa aku ke segala penjuru dunia.

Begitu tenang melihat semuanya dari sini. Sepi. Sendiri. Memburat pelan-pelan.

Perjalanan ini begitu mengasyikan. Tiap benua memiliki rasa yang berbeda. Biru, merah, kuning, hitam. Tetapi, matahari itu kian membuatku penuh. Dan pelan-pelan, rupaku jadi menyeramkan. Kelabu hampir menghitam. Punggung-punggungku semakin membungkuk. Tiap sudutnya dipenuhi titik-titik air dari samudera itu.

Ternyata berjalan sendirian tidak menyenangkan. Seperti orang asing di tengah pasar kambing, “Di atas lautan ini aku sendirian. Hampir gila rasanya,” keluhku pada daun kelapa di ujung tanjung.

Seperti pendaki gunung, beban di punggungku berat memuat. Titik-titik itu mulai membuncah sedemikian rupa hingga aku tak tahu lagi yang mana.

“Kemana kutuangkan titik-titik air ini. Sejauh mata memandang hanya lautan. Tak mungkin kutumpahkan di sana. Akan menguap dan kembali padaku. Malah akan makin menambah bebanku,” Perjalanan berlanjut begitu saja tanpa makna. Punggungku perlahan membiru.

Suatu pagi. Angkasa yang cerah menjadi aneh dengan adanya aku di sana. Tanpa sadar, kulewati sebuah pulau kecil. Sisa-sisa letupan gunung berapi. “Ah, tepi pantainya terkorosi, mungkin dihantam ombak atau badai sekian lama,” batinku.

Tidak, tidak. Tak mungkin kutumpahkan di sana. Titik-titik air ini terlalu banyak. Namun, meski tahu itu, kutumpahkan juga. Terlalu deras. Terlalu keras. Dan, pulau itu pun tak kuat. Aliranku demikian derasnya. Tepi-tepi pantainya makin menipis.

“Hujan, sudah. Tidakkah kau lihat, aku ini rapuh. Akar-akar bumiku meluluh sejak dulu. Hentikan, Hujan. Kau memang menyenangkan. Airmu menghidupi kami; pohon, pondok kayu, dermaga kecil. Tetapi, tolong, arusmu terlalu deras, begah,” pintanya mengiba setelah beberapa bulan yang terasa panjang kutumpahkan airku di sana.

Tak tahan melihat penderitaannya. Kuhentikan rintik-rintik itu. Kutinggalkan ia, meski berjanji dalam hati akan selalu datang saat musim tanam.

(2)
Kulangkahkan kembali punggung kelabuku. Kucaci angin agar ia marah dan menerbangkanku jauh-jauh. Kuuraikan makna pada gerakan terakhir saat meninggalkan pulau kecil itu. Kosong tak terdata. Kembali angkasa membentang ketika jejak-jejak airku menapakinya. Sendiri.

(3)
Suatu malam. Bulan berkelip dan terlihat ramah. Sang angin pun sudah tidak terlalu marah. Sambil lalu, dikelitikinya punggung-punggung kelabuku. Rintik-rintikku menari dengan gemulai dan pelan. Kami menjadi akrab kembali.

Sebuah titik di kejauhan menyapaku dengan sinar redupnya. Oval meruncing di bagian depan dan melebar di belakang. Secarik kain terbentang lemas pada tiang-tiang yang terlihat kokoh. Sosok-sosok tergeletak di bagian tengah, tersebar dekat kemudi dan sekoci. Terbaca di lambungnya; Saraswati.

Sementara, ikan-ikan bersayap tembaga hilir mudik dalam barisan di tiap sisinya. Meminta remah-remah.

“Ini yang namanya kapal?,” Penasaran, kudekati, mengendap-endap, dan sedikit agak tersedak.

Suram, itu visualisasi yang kutangkap. Sosok-sosok yang tergeletak di sana terlihat menyedihkan. Ceracauan mereka saling tindih satu sama lain. Seperti puluhan puisi yang dibacakan sekaligus dari satu mulut. Mata mereka nanar, sembab, dan menghitam di kelopaknya. Beberapa terlihat seperti berdoa. Lantunan puisi dan doa dan prosa-prosa menempel di tiang-tiang yang melintang.

Kuedarkan pandanganku. Menyedihkan. Dayung-dayung berwarna ungu patah dibeberapa bagian. Lantai geladak pecah dan retak memanjang hingga ke ujungnya. Sebuah jambangan berisi bunga putih yang mengering, terguling menyusuri urat-urat pagar ketika ombak kecil mengetuk sisi kapal.

“Haus! Haus! Air habis. Sampai kapan perjalanan ini? Masihkah jauh pulau penuh warna itu? Sungguh ironis, mati kehausan di tengah lautan. Banyak air tapi tak bisa diminum,” ratap sosok-sosok tersebut bergantian.

Terbersit ibaku. Kutemani. Punggungku bergeletar. Rintik-rintik yang terkumpul kutuangkan. Pelan-pelan. Penuhi ember dan jambangan.

“Terima kasih, Hujan,” Mata mereka berbinar. Tangan yang tertangkup menyusup ke dalam ember. Lalu meminumnya dengan takjub. Aku tersenyum, ternyata aku masih diharapkan.

(4)

Berbulan-bulan aku mengiringi kapal itu. Kadang –sengaja, kutuangkan dengan deras titik-titik airku. Banjiri geladaknya. Basahi baju-baju dan tempat makan. Dan, mereka merenggut tapi tersenyum lagi.
Ah, sangat menyenangkan. Diterima seperti itu. Ramah dan selalu bersyukur dengan apa yang ada. Perasaanku meluap. Baru kali ini seperti itu.

Senja yang temaram, angin berhembus agak kencang. Metahari berebutan dating denga sang bulan. Perasaanku terlalu meluap. Tak dapat kutahan. Kontrolku hilang. Lalu tumpahkan semua. Berhari-hari, dari malam hingga pagi.

Dan, rupanya mereka tidak bisa menerima hujan yang terlalu deras. Pakaian tak pernah kering. Tak bisa memasak. Kedinginan dan basah. Meski air tawar itu kuberikan cuma-cuma.

Mereka mengutukku. "Wahai hujan, kenapa kau selalu turun. Kami juga butuh matahari untuk menjemur baju. Api tak bisa menyala. Kami kelaparan. Kami juga ingin merasakan sore yang romantis. Bersandar pada bahu maasing-masing di buritan, menyaksikan sunset dan pelangi. Tapi, mana bisa jika kau turun terus," cerca mereka saat aku mulai merintikkan.

Kekecewaan karena merasa diindahkan. Lagi-lagi aku melakukan kesalahan yang sama. Kemudian, tak lama, aku pergi. Punggungku melengkung. Makin berat bebanku.

Waktu berjalan ternyata, kesepian angkasa kembali melanda. Gurat-gurat pedar sang surya menghitamkan punggung kelabuku. Burung-burung laut tak lagi meredakan kesendirianku. Kutanggapi canda mereka sambil lalu.

Kurindukan orang-orang di kapal itu yang selalu menyambutku. Sebelum waktu aku terlalu deras. Sebelum aku pergi bergegas.

(5)

Kerinduan. Begitu dalam ternyata arti dari tiap hurufnya. Rasa dihargai. Dibutuhkan. Dianggap ada. Betapa kehilangan akan keperluan. “Bagaimana kabar mereka. Apakah air tawar masih tersisa. Apakah bibit jeruk dan bayam di jambangan itu layu?”

Kutitipkan rintik-rintikku pada sinar matahari, pada angin, pada sebatang pohon yang hanyut, pada ikan-ikan yang berenang ke arah mereka. “Semoga sedikit rintik itu bisa menghilangkan dahaga,” kataku.

(6)

Gelap. Kesedihanku membuat punggung ini makin kelabu. Kutumpahkan dimana saja sambil lalu. Dan mereka kembali kepadaku. Menggelumbungkan punggung itu.

“Sialan!” kubalik arah perjalananku. Kembali ke kapal itu. Cepat. Kuikuti dari belakang. Tidak dekat dan tidak jauh. Cukup dekat jika mereka kehausan. Dan, cukup jauh untuk tidak ketahuan.

Kuikuti kapal itu, sampai sampai ke daratan dimana mereka tidak lagi kehausan. “Saraswati,” bisikku dalam rintik-rintik yang menempel di buritan.

(Bandar Lampung, 15 November 2010)

Komentar

Posting Komentar