Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2009

Surat Kelimabelas

Selasa, 23 Juni 2009 Untuk alam semestaku, yang mulai menjadi mozaik pagi Bidadari bening penyerap mimpiku, Aku mengalami mimpi beberapa hari yang lalu. Begitu menyenangkan saat itu. Begitu nyaman. Engkau akhirnya hadir walaupun tak seberapa nyata, menemaniku yang membeku dimakan rayap kesunyian. Meski tak ada tatap mata, kau hadir dalam kata. Meski tak ada sesosok resam gemulai, kau di sana membelai. Meski tak ada raut muka, kau bercanda dalam rima. Tak ingin terlupa, aku sengaja mencatat semua kata. Ketika kita berbicara tentang apasaja. A-P-A-S-A-J-A. Bukan untuk dipamerkan, tetapi, kata-kata tersebut terlalu berharga untuk dilupa. Agar saat kembali kekenyataan, aku bisa sedikit merasa bermimpi. Sebab, hanya di dalam mimpi aku bisa menyayangimu tanpa riba. Aku ingin tertawa saat itu. Apa yang aku tertawakan? Aku menertawakan diriku, yang kian lama kian melankolis. Wajahku menjadi selalu merahjambu. Hatiku terisi daun perdu. Sepenggal puisi selalu menyeruak dari bibirku yang pecah-pe

Surat Keempatbelas

Senin, 22 Juni 2009 Untuk bungaku, yang perlahan dalam tenang mulai membayang, Mari masuk. Sebentar, aku ambil untaian bunga “selamat datang” seperti hotel-hotel mewah di Hawaii sana. Kalau kau masuk ke dalam, bersiaplah untuk tercengang. Di selasar antara pintu masuk menuju lobby, tergantung lukisan-lukisan, emm …mungkin, lebih tepatnya sketsa yang menampilkan gambar dirimu. Banyak bukan? Sekedar memberitahu, itulah gambaranku tentangmu yang tertangkap oleh ingatanku selama ini. Ada sketsa dengan ekspresi kau tertawa, marah, sedih, kesal, dan lainnya, kau lihat saja sendiri yah. Selepas selasar, silahkan duduk sebentar di lobby. Ada welcome drink. Hanya koktail sederhana dengan cherry di atasnya, berkadar alkohol rendah yang cukup menghangatkan tapi tidak memabukkan. Tidak perlu terburu-buru untuk check in. namamu sudah ada di daftar. Jadi, santai saja. Nikmati minumanmu sambil melihat-lihat sketsa di selasar tadi. Bilamana kau sudah bosan melihat-lihat, mari, aku antar kau ke kamar y

Surat Ketigabelas

Sabtu, 20 Juni 2009 Untuk engkau, tempatku menanam benih keabadian, Hidup ini terasa kering tanpa desahan kerinduanmu, membuatku hampir saja gila di sini. Di sebuah kota kecil yang hampir habis sum-sumnya dihisap oleh koruptor-koruptor bersenyum sangat manis. Dan, kecongkakan tatapan-tatapan serta pembicaraan yang tak beraroma keindahan orang-orang mudanya yang berjubahkan kemewahan palsu, pun membuatku lebih baik berada di balik peradaban. Diantara mereka terdengar samar suara-suara yang memelas dan kehausan. Suara-suara itu berada di pinggir jalan; diantara tumpukan sampah, derit rem kereta api, di bawah jembatan yang hampir roboh. Suara-suara yang sebenarnya terdengar tetapi diacuhkan. Keadaan yang paling menyedihkan menurutku. Dianggap tidak ada. Keberadaan merupakan kondisi dimana manusia merasa eksis. Ada. Diakui oleh lingkungan sekitarnya. Menurutku, hal tersebutlah yang membuat manusia bekerja keras di dalam hidupnya. Bekerja membanting tulang agar tidak dianggap penganggur. Ag

Hitam(mu)kaku

Itu hanya satu dari keinginan buram Lamat-lamat mengikis mimpi yang selalu berlari Menetak fantasi liar ke dalam batu bermantera Melempar aksara ke atas lemari baju Beri aku sebotol arak Agar aku mabuk dan muntah kemudian Rebah Segaris lurus dengan tanah Merayap Tanpa suara di sebelah para pemburu najis Lagu latar ratapan kodok-kodok merah yang meluntur warnanya Bersidekap lalu meluncur patah-patah Di antara dering klakson Menghitam Seperti pantat jelaga yang telah lama bersimpuh di atas kompor minyak tanah Bd.Lampung; 14 Nov 2008; 05:23 AM

Menarilah

aku ingin kau menari, tentang sebuah kesedihan pasukan perdamaian yang mencuri bekal makan. aku ingin kau menari, tentang kisah menyedihkan perkampungan yang tertutup lumpur pekarangan. aku ingin kau menari, tentang sedikit keceriaan seorang anak yang dipaksa bapaknya kawin muda. aku hanya ingin kau menari segera. agar semua kembali. (Bd.Lampung; 23 Desember 2008; 2:30 AM)

Kenangan

kemudian jerami berbisik, tentang suatu kenangan yang terantuk waktu dalam perjalanan. diantara derit nyinyir roda pedati di sebuah jalan tanah di pinggir kota ini. aku meremang dalam malam yang melagukan kematian, tentang sebuah kenangan yang perlahan akan terlupakan. kupu-kupu yang terlambat pulang berkata. “tak apalah, toh semua itu hanya kenangan. esok pagi, embun akan datang membasuh lalu mengalirkannya kelautan”. (Bd.Lampung; 23 Desember 2008; 2:16 AM)