Langsung ke konten utama

Surat Kelimabelas

Selasa, 23 Juni 2009
Untuk alam semestaku, yang mulai menjadi mozaik pagi

Bidadari bening penyerap mimpiku,

Aku mengalami mimpi beberapa hari yang lalu. Begitu menyenangkan saat itu. Begitu nyaman. Engkau akhirnya hadir walaupun tak seberapa nyata, menemaniku yang membeku dimakan rayap kesunyian. Meski tak ada tatap mata, kau hadir dalam kata. Meski tak ada sesosok resam gemulai, kau di sana membelai. Meski tak ada raut muka, kau bercanda dalam rima.

Tak ingin terlupa, aku sengaja mencatat semua kata. Ketika kita berbicara tentang apasaja. A-P-A-S-A-J-A. Bukan untuk dipamerkan, tetapi, kata-kata tersebut terlalu berharga untuk dilupa. Agar saat kembali kekenyataan, aku bisa sedikit merasa bermimpi. Sebab, hanya di dalam mimpi aku bisa menyayangimu tanpa riba.

Aku ingin tertawa saat itu. Apa yang aku tertawakan? Aku menertawakan diriku, yang kian lama kian melankolis. Wajahku menjadi selalu merahjambu. Hatiku terisi daun perdu. Sepenggal puisi selalu menyeruak dari bibirku yang pecah-pecah dan hitam. Semua lagu sendu menjadi lagu latar dalam langkah. Bahkan hingga saat aku jongkok di kloset.

Kenapa bisa begitu. Entahlah. Manusia bisa menolak narkotika. Manusia bisa menolak judi. Manusia bisa menolak zina. Tetapi, bisakah manusia menolak cinta? Kalau ada, tunjukkan padaku. Dan, aku akan memberi salute kepadanya.

Seperti sudah menjadi kesepakatan dalam hidup manusia, bahwa setiap langkah akan selalu diikuti langkah selanjutnya. Tidak mungkin berjalan dengan satu kaki –kecuali cacat dan mempunyai semangat juang yang tinggi, hormat saya untuk tunadaksa di seluruh dunia. Kita memerlukan rekan yang bisa berkompromi, seperti langkah kaki. Ketika kaki kiri maju melangkah, kaki kanan bergerak ke belakang. Saling mendukung, saling membahu.
***
Ketika malam makin kelam, kita menjadi orang malam yang membicarakan terang. Percakapan tak pernah dalam, hanya di permukaan. Mencoba saling menyelami sisi samudera masing-masing. Bergulir tanpa pembatas menuju kehangatan dan kesejukan.

Aroma mimpi makin terasa, saat engkau berbicara: ”Nanti anakku ku beri buku apa ya?”. Sebuah visi masa depan yang cemerlang melebur bersamaan kalimat itu di sisiku. Aku menjadi sepotong angan-angan yang berarak perlahan di dalam intonasi tertawamu. Aku telah terikat.
***
Kamu tahu, sangat menyenangkan saat itu. Percakapan yang panjang meski ringan. Tidak perlu sebuah lagu melankolis, atau puisi-puisi Khalil Gibran. Bahkan, bunga pun lemparkan saja. Mungkin bagimu percakapan yang biasa, tetapi bagiku percakapan alam semesta. Ketika jiwaku menari-nari kemudian. Raga bermutajad dalam rima gurindam dan rebana.

Semoga, ini masih di alam mimpi. Seandainya seperti ini setiap hari, aku tidak ingin kembali pada kehidupan yang nyata. Mimpi dan imaji adalah kesatuan bagiku. Kenyataan adalah kengerian yang terlalu sulit dihindari.

Aku harap, bisa lebih mendekat lagi. Agar bayanganmu tak lagi cuma mosaik kering dan keinginan buram. Aku ingin kau menjadi kaki kiri, meski hanya dalam mimpi.

Komentar