Langsung ke konten utama

Musik (kita) yang tak lagi asik

Salah siapa jika perkembangan musik di Sai Bumi Ruwa Jurai ini menjadi mandek. Hanya berorientasi kepada kepentingan pasar?

Sore itu, lima pemuda berusia belasan terlihat asik dengan sebuah percakapan di sudut sebuah sebuah studio musik. Masing-masing dari mereka memegang kertas berisi catatan lirik lagu. Beberapa dari mereka memegang gitar akustik.

"Ganti aja nih yang ini. Jangan cinta matiku, tapi, mutiara hidupku," ujar seorang pemuda berperawakan sedang yang duduk agak di sudut. Empat kawannya yang lain setuju. Ia kemudian mencoret sebaris kata yang tertera pada kertas yang ada dihadapannya. Mereka lalu menyanyikan ulang lagu yang baru diubah tersebut.

Setelah saya mendengar secara utuh lagu yang akan mereka rekam tersebut. salah seorang diantara mereka berkata, "Wah, bakal keren nih lagu. Abis ini kita tawarin ke label yuk, siapa tahu bisa tembus," ujarnya sambil memetik gitar.

Saya kemudian menghampiri dan bertanya tentang motivasi mereka rekaman. Dengan gamblang, mereka menjawab bahwa motivasinya adalah uang dan kepopuleran. Sebuah impian yang terlalu muluk? Tidak juga sepertinya.

Sebenarnya lagu yang mereka nyanyikan itu biasa saja, tiada yang baru, mirip-mirip lagu ST12, lengkap dengan cengkok-cengkok melayu. Saya berpikir, apa yang istimewa? Warna musik sudah pasaran, pun dengan tema lagunya, masih berkutat di seputaran percintaan yang klise. Apakah lagu mereka akan tenar dan populer? Melihat fenomena dunia musik Tanah Air sekarang, mungkin bisa saja.

Bagai seekor kutu yang ditaruh di dalam kotak. Lompatannya yang semula tinggi lama-kelamaan menjadi terbatas pada ketinggian kotak dimana ia ditempatkan itu. Seperti itulah ruang lingkup musik di Lampung sekarang ini. Sebutlah ini asumsi pribadi saya, tetapi jika melihat kesuksesan Hijau Daun dan Kangen Band di kacah musik nasional, yang Ring Back Tone (RBT)-nya mencapai angka milyaran rupiah, maka wajar-wajar saja hal tersebut mampu menggaet para kaum muda untuk berbondong-bondong membuat band serta menciptakan lagu yang (dirasa-rasa) memiliki potensi yang kuat untuk meraih keuntungan serta ketenaran.

Fenomena yang terjadi akibat kesuksesan kedua band asal Lampung tersebut yakni terbentuknya opini dan cara mendengar masyarakat tentang musik yang 'bagus' itu adalah musik atau lagu yang bisa mendatangkan keuntungan (rupiah) secara besar-besaran.

Memang tidak salah cara berpikir seperti itu. Wajar saja, karena toh semua orang membutuhkan uang. Yang tidak wajar adalah terjadi ke-homogen-an dari musik-musik yang berputar di sekitar kita. Referensi akan musik yang kita ketahui menjadi dangkal. Kalau terus seperti itu, kita akan semakin tertinggal dengan daerah-daerah lain, Bandung misalnya.

Contoh mudah, Mocca. Band yang sampai sekarang masih indie ini berhasil menjual musiknya bukan hanya di lingkup nasional, tetapi internasional. Di dalam negeri mereka dihargai, di luar negeri mereka digemari. Keunikan musiknya yang sangat jarang dimainkan oleh musisi komersil di Indonesia membuat mereka menjadi istimewa dengan konsistensi permainan musik swing yang lembut serta lirik-lirik yang easy listening.

Musik mereka komersil, namun bertaji. Atau Shaggy Dog dari Yogyakarta, yang berulangkali diminta tampil di Belanda. Belum lagi Gugun and The Blues Shelter (Jakarta) yang kerap kali di undang dipanggung-panggung internasional, entah itu di Amerika ataupun Eropa. Memang tidak adil membandingkan scene musik di Lampung dengan Bandung, Jakarta, ataupun Yogyakarta yang memiliki sejarah per-musik-an yang lebih panjang. Tetapi kita dapat mengambil banyak pelajaran dari sana.

Bukan bermaksud mengecilkan teknik bermusik dari band-band indie yang menjamur sekarang ini. Tetapi jelas terlihat dari lagu-lagu yang kerap diputar di radio atau acara-acara musik pagi hari di televisi yang sedang in sekarang ini, memang tidak berbobot dan (maaf) membuat mual. Menjadi terlalu mudah untuk terlupakan.

Seorang musisi jazz pernah berkata ketika mengisi sebuah konser musik jazz indie --Jajan Jazz-- di Tangerang, Jilly Likumahua, ia biasa bermain brazilian jazz --komposisi musik jazz yang berpadu dengan alat musik tradisional Brazil. "Saya bukan 'pemusik', tetapi 'bermain musik'," kata Jilly.

Kata-kata tersebut patut dicermati lebih dalam. Terdapat perbedaan antara 'pemusik' dan 'bermain musik'. 'Pemusik' lebih dekat konteksnya dengan seseorang yang hanya memainkan alat musik untuk 'mengiringi' sebuah lagu. Sedangkan 'bermain musik' lebih kepada memainkan musik yang 'membentuk' sebuah lagu. Sebuah keindahan musik akan tercipta akibat pemahaman akan pentingnya interaksi dan ber-fusi antara musikalisasi instrumen musik dengan paparan lirik-lirik yang membentuk sebuah lagu.

Namun (mungkin) keindahan itu tak lagi terlihat sekarang ini. Keindahan sebuah musik atau lagu lebih diidentikan dengan komoditas. Komoditas seperti itu memang wajar dalam dunia bisnis. Ketika sebuah/sesuatu menjadi tren pasar, maka berbondong-bondonglah tercipta sebuah teori yang paling mudah. Ada gula ada semut. Dimana ada kesempatan mendapatkan keuntungan, disitulah para 'pemain' berkubang.

Tetapi, apakah semua hal harus dinilai berdasarkan dari sisi komersil. Pola pikir para pelaku menjadi pragmatis yang hanya berpikir untung dan rugi. Kesuksesan hanya dinilai dari berapa rupiah yang diraih dari penjualan RBT-nya atau kepopuleran. Arti sebuah kesuksesan menjadi pragmatis.

Pun demikian dengan acara-acara musik seperti Dahsyat, Inbox, AFI, Indonesia Idol, dan lain sebagainya. Acara-acara itu punya andil dalam membentuk mental pragmatis tersebut. Tampil di televisi berarti menjadi terkenal, dengan catatan, terkenal namanya saja, bukan karyanya.

Bukan berarti saya sinis dengan acara-acara semacam itu. Namun, dari seorang musisi kontemporer senior di Bandar Lampung --yang sering dijadikan tempat curhat oleh sebuah band asal Bandar Lampung yang kini mulai berkacah di belantika musik nasional, saya mendapatkan cerita, untuk tampil di acara tersebut, band itu harus merogoh kocek puluhan juta rupiah untuk tampil selama lima menit saja, itupun lipsinc.

Wah, berat sekali untuk menjadi terkenal, pikir saya. Tidak perlu sebuah karya yang bagus, asal ada uang, maka dapat tampil di hadapan jutaan mata pemirsa, tak peduli bagus atau tidaknya karya tersebut. Miris.

"Apalagi yang indah kalau semua jadi komoditas? Bahkan arti cintapun menjadi sempit," kata Iswadi Pratama, seorang seniman asal Lampung, dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu.

Mau tidak mau saya mengamini perkataan Iswadi tersebut. Bukan hanya sekedar opini, tapi dari beberapa lagu band-band zaman sekarang, hampir 90% lagu bertemakan cinta. Ya, kisah cinta yang makin meyempit lingkupnya, hanya berputar di kisah percintaan antara dua insan beda jenis, entah itu penolakan, putus cinta, ataupun cinta mati. Cinta dan cinta. Cinta menjadi tidak indah lagi. Cinta kini jadi alat "reproduksi" rupiah.

Dimana lagi sisi lain yang bisa digali. Dimana lagi getar-getar yang biasa dirasa saat mendengar sebuah lagu bertemakan cinta, seperti lagu "Salam Untuk Dia" dari Voodoo, atau "Bila Engkau Izinkan" dari Hengky Supit?.

"Lu terjebak dalam romantisme zaman lu sendiri," ujar salah seorang kawan yang kerap mengisi panggung hiburan kafe-kafe di Jakarta, membawakan lagu-lagu Top 40. Ah, mungkin benar perkataan kawan Saya tersebut. Zaman sudah berubah.

Komentar