Langsung ke konten utama

Anak-anak pada dunia kedewasaannya

Ketika Anak-Anak Kehilangan Kekanak-Kanakannya

Ketika anak-anak
Kehilangan kekanak-kanakannya
tiada musik atau tarian yang kini
mampu menggambarkan jiwanya
Tiada keceriaan dan kepolosan
Semua hilang bersama polesan-polesan bedak pergaulan
Tiada pakaian yang mampu menggambarkan
sisi kekanakannya
Pakaian yang dikenakan adalah kedewasaan
yang belum semestinya
Tiada permainan karet ataupun kelereng
karena permainan yang dimainkan adalah
permainan kehidupan
Ketika anak-anak telah kehilangan
masa kanak-kanaknya
Secara ikhlas ataupun terpaksa
Diberikan atau direnggut oleh zaman
Ironis namun kenyataan

(010608)

----------
catatan;

Puisi di atas saya unduh langsung dari sebuah blog: www.kyokoque.wordpress.com.

Saya membahas puisi tersebut karena saya kagum. Mulai dari makna, subjek yang ditujukannya, pemilihan kata-kata yang lugas --baik itu dari pemaknaan leksikal ataupun gramatikalnya. Sebuah kontemplasi pemikiran yang (menurut saya) tidak dangkal.

"Ketika anak-anak kehilangan kekanak-kanakannya"

Banyak hal yang saya rasa telah hilang dari kehidupan anak-anak sekarang ini. Esensi dari diksi "anak" itu sendiri seperti hanya sebuah diksi, tanpa penjelasan yang dalam. Anda pernah melihat kontes-kontes yang melibatkan anak-anak di dalamnya? Satu pertanyaan yang saya ingin ajukan, bagaimana perasaan Anda melihat mereka?

Miris, mungkin kita akan sepakat dengan kata itu. Ya, miris. Contoh mudah, Idola Cilik, sebuah kontes pencarian "idola" dengan menekankan pada ketrampilan bernyanyi, menari. Being an entertainer.

Mungkin tidak akan menjadi suatu masalah jika mereka berlenggak lenggok selayaknya anak-anak; menyanyikan lagu anak-anak, menari seperti anak-anak, dan bersikap seperti anak-anak. Namun, apa yang tergambar dari layar televisi tersebut? Seperti buah mangga yang diperam agar cepat matang, ironis sekali memang.

Agak sedih saya ketika melihat anak-anak itu, yang saya rasa belum mengerti apapun, menyanyikan lagu-lagu orang dewasa tentang patah hati, jatuh cinta, pengkhianatan, dan lainnya dengan gaya dan ekspresi orang dewasa. Saya ragu, apakah mereka mengerti tentang apa yang mereka nyanyikan tersebut?

Mungkin memang yang dinilai adalah performa, kemampuan olah vokal, atau apalah. Tetapi, apa yang saya lihat adalah Pasha Ungu, Vokalis-nya D'Massive (saya tidak tahu namanya), Vokalis-nya Kangen Band (saya juga tidak tahu namanya), Vokalis-nya Wali (apalagi ini, sumpah, saya tidak tahu namanya) yang dipadatkan dan dipaksakan keluar dari sosok-sosok mungil yang berada di atas panggung megah itu.

"Pakaian yang dikenakan adalah kedewasaan yang belum semestinya,"

Mau tidak mau, saya mengamini kata-kata itu. Dan, mau tidak mau pula, saya terpaksa menelan ludah -getir, dengan kenyataan yang terpampang secara vulgar dari hal itu. Kata-kata "kanak-kanak" direkonstruksi menjadi sempit dan dimanipulasi oleh orang dewasa.

Saya jadi rindu akan sosok Melisa "Abang Tukang Bakso", Trio Kwek Kwek, Joshua, Eno Lerian, Bodan "si Lumba-lumba".

Anak-anak pada milenium kedua ini memang seakan-akan tidak lagi bisa menjadi dirinya sendiri. Tuntutan dan harapan yang tinggi, bahkan dari orang tua mereka sendiri, harus dibebankan oleh pundak mereka yang masih bertulang lunak.

Seorang teman -wartawan salah satu Surat Kabar Harian di Bandar Lampung, pernah membuat sebuah feature yang sangat bagus mengenai anak-anak yang dipaksa menuruti kemauan orang dewasa, setelah meliput sebuah kontes model di salah satu Mall di Bandar Lampung. Alangkah bagus kawan saya itu. Tulisannya menyentil.

Ya Tuhan! Mereka, anak-anak itu, menjadi dewasa sebelum waktunya. Pakaian yang melekat di tubuh mungil mereka, terlihat jauh lebih dewasa dibanding sosok mereka. Pakaian-pakaian terbuka yang memerlihatkan punggung, dada, paha, dan aurat lainnya, jadi terlihat melecehkan diri mereka sendiri. Miris.

Hal seperti itu yang juga saya lihat ketika meliput ajang yang serupa (sayang sekali, feature saya itu tidak terbit). Seorang anak perempuan dengan pakaian yang "wah" terlihat menangis di pojok panggung. Seorang ibu-ibu tampak sedang memarahi anak tersebut. "Ayo naik! Masa mau nangis terus! Lihat, yang lain aja udah tuh!" seru ibu itu dengan nada yang cukup keras.

Dan lagi-lagi saya merasa miris berada di tengah-tengah "kedewasaan anak-anak" tersebut. Sekilas terlintas di benak saya akan kenangan masa kecil di pinggir Jakarta, yang dahulu masih banyak sawah dan kali-kalinya masih bersih.

Ah, jadi rindu belepotan lumpur, tangan tergores benang gelasan saat bermain layang-layang. Hanya bercelana dalam, berlari-lari di bantaran sungai.

Komentar

  1. salam kenal juga.
    wah, trimakasih utk link nya yah. sangat bermanfaat

    BalasHapus

Posting Komentar