Langsung ke konten utama

Monolog Kopi yang Kemanisan (3)

9.
lagi dan lagi kubuat kopi. dua cangkir kini tersaji. satu takaran satu ukuran. dua sendok makan penuh kopi. satu seperempat gula putih. pahit. kental. dan berwarna pekat hitam. lagi dan lagi kubuat kopi. dua cangkir kini menari dalam aroma. menggelora. satu untukku yang saat ini mengangkat cangkir dengan tangan bergetar. dan satu untukmu, yang sekarang belum kembali dari keterasingan.

10.
"aku rindu kopi pahit," bisikmu ketika akhirnya engkau kembali. "dan, aku pun rindu padamu yang selalu membuat kopi pahit itu," tambahmu. aku terdiam dalam getar-getar yang melagukan rasa melayang.

"aku hanya mengerti rasa pahit," jawabku. engkau menghirup kopi itu dalam suasana yang damai. suasana yang juga hanya aku punya dan selamanya. "nikmat mana? pahit atau manis?" tanyaku ketika hirupan terakhirmu menandaskan secangkir penuh kopi lampung yang mengental dalam cangkir yang berbayang.

11.
ada kopi yang mengental saat engkau mengeluh tentang hidup yang banal. pelan-pelan kopiku terhirup lubang yang terbujur di batas garis kehinaan. dan senja minggu itu berderit ketika kau tercekik kopimu yang bersintesa. tak kental. tapi menggumpal.

"kau salah jalan. tadi kan di persimpangan itu ada petunjuk arah. seharusnya anda ke sana," kata seorang penjual jagung bakar sambil menunjuk ke arah matahari tenggelam, ketika kau menanya arah pada hari libur dimana kau tersesat saat hendak ke rumahku.

kau tersasar. berulang kali pesan pendekmu datang. "dimana sih rumahmu?".

ah, kau terlalu lama tersasar. kopi ini dingin jadinya.

(1 Maret 2010)

Komentar