Langsung ke konten utama

Surat Kedelapanbelas

Minggu, 10 Januari 2010
Untuk kekasihku, yang hampir saja menjadi sisa-sisa keraguan

Berteman setengah batang keharuan, seperempat gelas kecemasan, dan sesendok teh awing-awang. Aku bernyanyi di depan kamarku. Suaraku sumbang, pilek ini belum terlalu berkurang. Pun, dengan bunyi gitarku, tak kalah sumbang. Senar enamnya mati. Senar duanya dari kawat. Senar tiga tidak ada. Sebuah harmoni akan cinta kasih dari Iwan Fals -salah seorang musisi kebangganku, “Kembang Pete” kulantunkan patah-patah.

Kuberikan padamu/Setangkai kembang pete/Tanda cinta abadi namun kere
Buang jauh-jauh/Impian mulukmu/Karena kita tak boleh bikin uang palsu


Kasih sayangku ini miskin. Hanya niat baik yang aku punya, yang lagi-lagi aku katakan. Ualng dan berulang. Bukan apa-apa, karena toh, kita memang miskin, meski ada beberapa lembar uang berwarna merah di dompetku.

Miskin. Seperti negeri ini. Miskin kepercayaan. Miskin keadilan. Miskin kompromi. Miskin segala-galanya. Saking miskinnya, para pejabat, melulu minta akomodasi yang paling baru. Mulai dari mobil dinas yang paling baru sampai (kalau bisa) istri baru.

Tapi, aku tidak malu menjadi miskin.

Dengan miskin, aku semakin terpacu untuk lebih baik lagi, dengan catatan, cara yang baik. Dengan menjadi miskin, aku sadar, masih banyak hal yang bisa aku lakukan selain kenikmatan sementara yang akan pudar seiring waktu. Dengan merasai miskin, aku menjadi terbuka akan mimpi-mimpi baru, yang tidak akan ditemui pada saat kaya.

Jadi orang miskin, keren juga.

Komentar