Langsung ke konten utama

Wasiat

Seorang tua tertidur di kursi ruang tengah. sepiring tahu goreng mulai mendingin di atas meja depannya. sebuah buku bercocok tanam di pangkuan. dengkuran lirih teratur. bersahutan dengan sebuah kipas tua yang berderit ketika berputar di belakangnya. sementara pakaian mulai mengering diterik matahari pukul empatbelas.

Segerombol orang berhati-hati tanpa suara masuk dari pintu belakang dekat dapur yang tak bisa dikunci. mata menyalang mencari barang-barang sekitar dua-tiga menit. tak ada apa-apa. menuju ruang tengah. hanya ada sebuah kipas angin tua yang berderit sebuah radio jaman jepang sepiring tahu goreng dan seorang tua yang tertidur di kursi ruang tengah dengan sebuah buku tentang bercocok tanam di pangkuan.

“barang sampah semua!” satu orang memaki dalam bisik.

Berpencar. satu orang menuju kamar tidur. mengacak-acak tempat tidur. mencari uang yang biasa disembunyikan di bawah kasur. tak ada. satu orang mengambil kipas angin tua yang berderit sebuah radio jaman jepang serta menghabiskan sepiring tahu goreng. “lumayanlah, kipas dan radio ini bisa diloak di desa Anu” katanya sambil mengigit tahu goreng terakhir.

Mereka pergi dengan kesal. cuma barang-barang tak seberapa berharga didapat. satu orang sebelum pergi bahkan mengambil buku bercocok tanam yang ada di pangkuan seorang tua yang tertidur.

Di pasar desa Anu. barang curian hanya dihargai seharga tiga kali makan dengan lauk ayam lima gelas es teh manis dan dua bungkus rokok kretek. buku bercocok tanam tidak laku diloak. makan dengan lahap. buku berococok tanam dijadikan lap.

sehelai kertas buram terjatuh dari sela buku. satu orang mengambil dari tanah lalu membacanya. tulisan tangan yang berantakan. seakan-akan ditulis dalam penerangan yang temaram.

“bapak tidak punya apa-apa. cuma sepetak tanah sebuah rumah dan sebuah buku bercocok tanam ini yang berharga. ambillah untukmu. bertanilah. gunakan buku itu untuk memandumu. karena bapak tahu tak ada ilmu tentang bertani di pendidikan dasarmu yang tak kau selesaikan. bertanilah. karena darahmu adalah darah petani. bukan priyayi bukan pencuri. bertanilah. karena hanya itu warisan yang bisa bapak berikan sekarang dan selamanya”.

satu orang yang membaca mengumpat pelan. rokok dihisap pelan. “dasar orang tua miskin! rumah akan kujual. tanah pasti bisa kugadai!”

(Bd.Lampung; 9 Desember 2008; 07:23 PM)

Komentar