Mungkin ini sangat terlambat buat menulis soal
video klip terbaru dari Payung Teduh, Akad. Sudah lebih dari dua bulan sejak
video klip itu diunggah di YouTube. Tapi biarlah, karena memang perspektif ini
baru saya dapatkan setelah menonton video klipnya.
Baru nonton? Iya, saya baru nonton video
klipnya, meski sudah mendengar lagunya pada Juli lalu. Kenapa baru nonton?
Alasannya sih simpel, lagu-lagu Payung Teduh jauh lebih enak didengar pakai
headphone sambil tidur-tiduran, jadi video klipnya pun tidak terlalu penting.
Beberapa hari lalu, sambil nemenin Aleesya
main, saya iseng googling soal ‘Akad’ ini. Hasil pencarian menampilkan berita
mengenai video klip lagu ini di-blur, ditarik kembali, diunggah yang baru, dan
ending yang menyedihkan.
Lantaran penasaran, saya buka YouTube dan
menontonnya. Tak perlu bicara banyak mengenai jalan cerita video klip itu;
seorang lelaki paruh baya yang menjadi supir taksi online, penumpang yang
beragam: sepasang kekasih, satu keluarga kecil, perempuan yang patah hati, dan
geng yang ceria.
Cerita berjalan dengan ending pria paruh baya
itu menjemput putrinya dan mendapat kejutan berupa perayaan hari ulang tahun
pernikahannya dengan mending sang isteri.
Dari googling, disebutkan ending ini yang
sukses bikin ‘baper’. Kebanyakan mengatakan ‘kesedihan’ atau haru karena si
pria paruh baya itu menangis lantaran mendapat kejutan.
Tapi saya mendapatkan perspektif berbeda. Dan
ini berhubungan dengan bait kedua reffrain ‘Akad’. Bagi saya, bait kedua inilah
yang bikin tengkuk saya bergidik dan membayangkan hal-hal yang menyedihkan.
“...Namun bila saat berpisah tlah tiba.
Izinkan ku menjaga dirimu. Berdua menikmati pelukan di ujung waktu, sudilah kau
temani diriku,”
Saat lagu mencapai bait kedua reffrain ini,
scene video klip begitu membuat saya tercekat. Sang pria paruh baya terlihat
menahan kesedihannya, matanya memerah, tangannya bertangkup dan gelisah,
jemarinya mengusap cincin kawin, hingga tangisnya tumpah sambil memandang foto
mending sang isteri.
Bagi saya, kesedihan pria paruh baya itu bukan
haru atau karena isterinya telah meninggal dunia. Melainkan, karena dia merasa
bersalah atas ketidakmampuannya menjaga janji kepada mendiang isterinya.
“...Izinkan ku menjaga dirimu. Berdua
menikmati pelukan di ujung waktu...”
Scene ending ini, menurut saya, cerdas dan
benar-benar tahu apa yang mau disampaikan oleh Payung Teduh dalam ‘Akad’.
‘Akad’ di sini bukan berarti ijab kabul untuk mengesahkan perkawinan saja. Ini
bermakna lebih jauh dari itu, ‘perjanjian’ dari dua manusia yang tidak hanya
sebatas hubungan ragawi, tetapi sampai batin dan semesta keduanya.
Ah, sialan.... nangis lagi deh saya.
Komentar
Posting Komentar