Langsung ke konten utama

Surat Kedelapan

SABTU, 20 DESEMBER 2008
Untuk kekasihku: yang (ku harap) selalu menantiku di kaki langit

Puisi yang akan kau baca di bawah ini, aku buat beberapa hari yang lalu. Saat aku sedang sendirian di pojok kantin, di depanku segelas kopi yang tinggal setengah yang dibayarkan oleh salah seorang teman setelah kami berbicara panjang segala hal tentang asmara, rasa suka, dan sedikit seks yang lucu. Mungkin masih terlihat naif puisi ini.

Kau Adalah:

Kau adalah cericit burung kecil di minggu pagi
Memberi senyum terpulas dalam pesan singkat
Merangkai kecupan-kecupan berbayang maya
Membangunkanku dari tidur yang tak nyenyak

Kau adalah segelas es teh manis di tengah hari yang terik
Mengupas panas menghantar sejuk
Merubah merah jadi putih
Berlalulah amarah menuju ketenangan

Kau adalah secangkir kopi pahit ketika senja yang muram menelusup lewat di sela jendela kamar kontrakanku yang bertarif 300 ribu rupiah perbulan
Merangkul bahu mengusap kepala
Membacakan sajak yang manis
Saat korosi otak makin beronak, di bias asap knalpot yang menyembur serampangan dari kendaraan yang lalu lalang menuju pulang

Kau adalah untaian nada sendu di tengah malam yang bising oleh dengung nyamuk
Mengantarku tidur di ranjang yang berderak
Meniupkan kehangatan di udara dingin malam musim kemarau
Dan, menjadi setangkai gula-gula di sudut mimpi menyeramkan dalam tidurku yang tak pernah lelap

Kau adalah: waktu yang terurai perlahan saat segalanya menjadi rindu.

Mungkin puisi ini adalah efek samping yang disebabkan dari kerinduanku akan kehadiranmu. Tahukah kau betapa tersiksanya aku, menanti gemerlap senyum dan riak dari binar matamu. Sedikit rangsangan akan melankolisme langsung membuatku menjadi seorang pujangga. Ada benarnya kata sorang kawan bahwa setiap orang yang jatuh cinta tiba-tiba mendadak menjadi penyair. Memuisikan segala perasaan, suasana, bahkan sandal butut pun bisa menjadi se-eksotik karya seni rupa kontemporer.

Satu hal yang aku sadari, ketika kita terjatuh dalam keadaan yang biru penuh asmara, semua hal –baik ataupun buruk, terlihat sangat menyenangkan. Semua kejadian menjadi kenangan indah yang wajib disimpan dalam buku diari dan diberi judul dengan huruf tebal. Bahkan keadaan yang sebenarnya tidak bagus, seperti misalnya sepatu seharga limaratus ribu yang baru kita beli pagi hari, tiba-tiba berubah menjadi sendal jepit saat kita sholat jum’at, alih-alih marah ataupun gusar, kita malah berpikir itu adalah hal yang wajar, karena mungkin saja saat sholat jum’at tadi lupa memberikan uang amal jariah. Kita menjadi seseorang yang dengan amat sangat mudah memaafkan. Tidak ada kesalahan yang tidak dapat dimaafkan.

Ah, jatuh cinta, benar-benar menyenangkan sekaligus memuakkan.

Menyenangkan, karena di dalam keadaan jatuh cinta, semua hal menjadi begitu berbunga. Jalanan yang berlubang dan becek bisa terlihat sangat mulus. Pojokkan pasar tradisional yang penuh dan bau oleh sampah bisa terlihat sangat berseni dan berbau harum. Janji-janji busuk politisi korup bisa terdengar sangat merdu di telinga, hingga keadaan terburuk sekalipun bisa terlihat sebagai hujan rezeki dari surga.

Memuakkan, karena akal sehat yang sangat diperlukan untuk menyiasati kehidupan ini seakan-akan tertutup oleh selaput tipis tapi buram, sehingga kenyataan yang terhampar di depan mata tidak bisa terlihat. Seperti “rakyat” bangsa ini, yang sudah sangat cinta mati terhadap negerinya sehingga keburukan-keburukan yang telah terjadi (yang sebagian besar bahkan disebabkan oleh individu-individu yang acapkali berteriak tentang nasionalisme!) tidak terlihat oleh mata mereka. Saking cintanya, mereka menutup mata dan selalu dengan rela memaafkan meski anak-anak mereka meringkik di sudut dapur mencari sesuatu untuk bisa dimakan.

Ah, jatuh cinta. Begitu banyak yang harus dikorbankan untuk membuatnya tidak bertepuk sebelah tangan. Meski hasil yang didapat kadangkala tidak sesuai dengan apa yang telah dikorbankan.

Tapi, kehidupan ini tanpa cinta adalah semangkuk bakso tanpa bakso tanpa bumbu, hanya kuah, hambar. Tetapi, cinta yang terlalu berlebihan -seperti para “laskar-laskar pembela” yang begitu tega memukuli saudara satu bangsa, juga tidak menyehatkan. Mungkin yang lebih idealnya adalah tetap jatuh cinta tanpa menutup mata. Setuju?

Komentar