Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2010

Sajak Terakhir Untuk Melati

usai sudah di kelokan sungai itu dekat muara kita berpisah lepaskan sulur yang mengikat keberadaan kita "duhai ranting patah, tak perlu kau tunggu silahkan kau melaju aku akan menuju ke arahnya. tak akan kembali atau menepi," selalu ku kira sama itu coretan cerita tentang hujan obrolan ikhwal awan dan nasi goreng yang kematangan "wahai melati, pergilah itu arusmu, ini arusku tiada lagi ku menahanmu aku tidak akan membual lagi," terkenang kembali segala ini sebelum kau pergi saat kita mulai meniti "dan mungkin kita tak akan sama-sama kembali menyusuri ini," tiada yang hangus saat nama pada masing-masing ponsel terhapus hanya belum ditulis-Nya nama kita pada kertas yang sama, itu saja (19 Oktober 2010)

Senandika Teh Tanpa Gula (3)

1. "selesai sudah," kata hujan pada suatu malam saat teh tanpa gula dalam cangkirnya tiada lagi tersisa. ya, musim hujan sudah waktunya berhenti dan biarkan pelangi melengkung penuh pada cakrawala. pada suatu pagi yang sempurna. 2. apa yang terjadi, jika hujan turun setiap hari pada kota yang tanahnya tiada bisa menumbuhkan lagi padi. tetapi hujan tidak pernah bisa menentukan dimana serta kapan ia akan melemparkan bulirannya bukan? namun arus yang mengalir sudah seharusnya memiliki tujuannya. entah itu ke muara atau apa saja. mengalir sangat berbeda dengan terhanyut. 3. bukan karena kesetiaan dan penantian melati kepada pelangi yang membuatnya gundah. "selesai sudah," ujar hujan yang pelan-pelan menarik diri dan mengisi cangkirnya dengan air sendiri. dan ketika air mata tak mungkin lagi kini bicara tentang rasa, bawa ia pulang segera menuju alirannya jelajahi waktu ke tempat berteduh hati kala biru. 4. secangkir teh tanpa gula menjadi sepi sendiri pada tepiannya saa