Langsung ke konten utama

Surat Kesepuluh

Selasa, 6 Januari 2009
Untuk kekasihku: yang selalu bergelora dalam imaji kesendirianku.

Mari kita bicara tentang cinta. Tentang cinta yang bisa membuat sebuah wilayah yang dahulu penuh kedamaian berubah menjadi ladang pembantaian.

Tentang cinta akan agama -yang membuat, dengung-dengung nada harmoni kasih yang mengalir alami dari balik dinding masjid berukiran kaligrafi tingkat tinggi, nyanyian-nyanyian beraroma madu yang menembus pusat syaraf dari sela-sela menara gereja yang terlapisi lukisan-lukisan paling indah sepanjang masa, tarian-tarian berdaya magis penyerahan diri kepada Sang Kuasa yang terlantun dari debu-debu lantai kuil- menjadi ajang sumpah serapah kepada saudaranya mengatasnamakan Sang Pencipta masing-masing agama. Mereka buta atau tidak membaca atau tidak mengerti? Tidak ada agama manapun yang membenarkan pembunuhan.

Mari kita bicara tentang cinta. Tentang cinta yang selalu bergolak dalam jiwa patriotisme diantara putaran waktu, yang lamat-lamat kemudian tak dapat dibedakan lagi, antara kata dan makna dari patriotisme dengan kolonialisme.

Tentang cinta akan negara, dimana yang aku yakini adalah faktor utama penyebab terjadinya segala macam bentuk pertumpahan darah. Selalu ada cinta disetiap aliran darah di medan perang. Selalu ada cinta disetiap denting pedang, parang, kapak yang beradu. Selalu ada cinta yang sangat menggelora disetiap aroma mesiu dari moncong senapan yang ditembakkan.

Aku selalu bergidik ngeri mendengar kata perang!

Mari kita menari, bersebelahan dengan damai sambil mengisap rokok atau sisha, sambil meminum anggur atau jus jeruk atau wedang jahe, sambil tertawa melihat aksi kocak Budi Anduk atau Tukul atau Komeng.

Komentar