Langsung ke konten utama

Surat Keduabelas

Jum’at, 27 Februari 2009
Untuk bunga kenanga di Jum’at pagi yang suci

Pagi ini mendung. Matahari tersembunyi di ketiak awan yang mengandung titik-titik air. Para pelari pagi berlari dalam udara yang dingin. Dan aku, duduk bersandar di dinding kamar yang telah mengelupas catnya, ditemani sepotong roti sisa semalam dan sepuntung rokok yang kudapat dari asbak. Tetapi, aku sehat, raga dan jiwa. Bagaimana dengan kau?

Baru saja aku menyalakan TV, sekedar menghilangkan mumet sambil menunggu kantuk, menonton acara pagi favoritku: SpongeBob SquarePants. Sungguh menyegarkan melihat bagaimana lugunya SpongeBob dalam memandang dunianya ataupun hal-hal di sekitarnya, atau tentang betapa bodohnya atau pandirnya si Patrick –sobat kental yang sama konyolnya SpongeBob. Mereka –menurutku, merupakan representasi dari sikap anak-anak di dalam dunia orang dewasa.

Mungkin begitu cara pandang anak-anak. Semua terlihat selalu baru, mengagumkan, membuat penasaran, tidak ada yang tidak menyenangkan, dan semua menghadirkan sensasi akan sebuah petualangan yang harus ditempuh. Lihat saja, bagaimana mereka seakan mengritisi semua yang terlihat oleh mata mereka yang masih murni dan bening. Mengajukan pertanyaan demi pertanyaan yang sangat sederhana (tetapi, seringkali membuat orang-orang dewasa tergagap kelimpungan memberikan jawaban) seperti: “Ma, adik bayi datang darimana?”.

Dunia dalam pandangan mata mereka adalah dunia yang sangat berbunga, sehingga -lihatlah, tawa mereka yang lepas, tawa yang sejati, tawa yang dalam arti sesungguhnya. Senyum mereka yang seperti menghipnotis, senyum yang membuat semua orang dengan rela menunda pekerjaan demi menunggu senyumnya yang akan muncul lagi. Atau, kenakalan mereka yang terlihat lucu, sehingga tak membuat marah pihak yang menjadi korban kenakalan itu, kenakalan yang dapat ditolerir oleh siapa saja.

Semua tingkah laku mereka adalah kemurnian.

Ini, yang lamat-lamat, bahkan hilang sama sekali, di diri orang dewasa yang katanya memiliki tingkat pemikiran lebih maju dari anak-anak. Tetapi, kedewasaan tersebut bahkan kadang-kadang membuat orang dewasa seperti badut, terlihat lebih “anak kecil” dibanding anak-anak tersebut.

Lihat, kebencian yang terus mengakar bahkan ketika perkelahian atau pertikaian telah usai dalam dunia orang dewasa. Bandingkan, anak-anak yang kembali bermain bersama dalam tawa setelah beberapa saat sebelumnya bertengkar sampai menangis. Tak ada dendam. Tak ada kebencian.

Atau, kebosanan yang muncul akan semua orang karena setiap hari bertemu sehingga tak ada lagi variasi hubungan antarindividu. Anak-anak tidak begitu. Tatkala hari berganti, kekaguman atau rasa penasaran kembali baru, sehingga tatapan mereka tetap berbinar seperti binar-binar mata mereka pada hari kemarin ataupun hari-hari sebelumnya.

Aku tidak bermaksud untuk menggurui. Karena aku pun sama seperti orang-orang dewasa yang lainnya. Aku hanya mencoba memberi lagi arti kehidupan, cara pandang yang lain terhadap kehidupan untuk diriku sendiri, karena tidak mungkin aku memaksakan apa yang ingin kulakukan terhadap orang lain. Kebebasan setiap orang adalah miliknya sendiri.

Aku hanya ingin seperti anak-anak lagi, setidaknya memiliki cara pandang mereka terhadap dunia setiap harinya. Aku ingin bisa memandangmu dengan kekaguman yang sama setiap harinya seperti kekaguman saat kita pertama kali bertemu. Kekaguman akan bidadari yang merentas di bumi dari surga, karena saat ini aku merasa aku melihatmu lama-lama berubah menjadi manusia seperti orang kebanyakan. Aku ingin melihatmu dalam wujud bidadarimu setiap saat, seperti saat pertama kali aku melihatmu dahulu.

Komentar