Langsung ke konten utama

Surat Keenambelas

Minggu, 15 November 2009
Untuk Perempuan dari Masa Depan-ku

Wahai kau yang selalu mengerling dari balik keinginan

Aku menulis surat ini ketika embun turun dan menjadi titik-titik air di ujung pengeras suara pada surau di desa tetangga. Sunyi sekali pagi ini. Hanya segelas kopi hitam kental dan tidak seberapa manis serta detik jarum jam dinding yang menjadi teman. Tapi tak apa, aku sudah terbiasa.

Surat kali ini tertulis dengan keraguan ketika kenyataan terasa memabukan. Ketika akhirnya kau datang dan mewujud di hadapanku. Tetapi, aku ragu. Apakah itu kau atau bukan. Pun demikian, tetap kusambut tanganmu yang sedikit pias kedinginan. Sedangkan keraguan, ah, toh aku bisa lebih tidak peduli.

Aroma, aura, dan mimpi-mimpi perempuan bersayap putih di bahunya itu sangat mirip dirimu. Terlebih ketika ia mengungkapkan tentang bentuk dan suasana dari rumah penuh cinta yang diidamkannya kelak jika ia berkeluarga. Membuatku semakin yakin jika perempuan itu adalah kau yang selama ini hanya menari-nari di pikiran dan puisiku.

Sedangkan keraguan itu muncul ketika ia tak jua menyinggung tentang surat-surat yang pernah aku tulis dan kirimkan. Tapi toh tetap kunikmti malam itu, karena bisa saja aku lebih tidak peduli. Kunikmati sepuas-puasnya. Karena, belum tentu kau akan mewujud kembali keesokan hari. Ah, anggap saja itu benar-benar kau.

Malam itu tak akan kulupakan. Terima kasih untuk bintang, karena telah mengirimkan pedarnya melalui sosok itu. Dan, terima kasih juga untuk matahari, karena mau lebih lambat terbit pagi itu. Tak lupa, untuk gardu ronda. Terima kasih karena telah meminjamkan bahunya untuk kita berteduh dari embun di tengah kota.

Ah, malam itu. Aku jadi teringat akan beberapa hal yang membuat aku kian menyayangimu. Binar matamu. Genggaman tanganmu. Tawamu, dan hal-hal lainnya. Betapa melayangnya aku. Sehingga, udara pun kurasa kalah ringan.

Kemudian, aku makin melayang saat kau tertidur di bahuku. Aku adalah manusia paling beruntung malam itu. Seorang bidadari bersedia merebahkan kepalanya yang harum di bahu hitam seorang budak.

Debar ini makin menjadi, tatkala dengan lembut dan perlahan meraih pangkuanku, lalu kembali terlelap di sana, bersama harummu yang tak hilang selama seminggu pada celana panjang hitamku.

Sungguh mengagumkan. Bahkan saat tidurpun kau tetap memesona. Lembut dengkurmu berpadu harmonis dengan degub jantungku.

Debar ini makin menggila. Lebih menggila lagi saat kau makin meraptakan pelukmu. mencari sedikit kehangatan dari telapak tanganku yang kasar dan kapalan. Sehingga, senandung pelanku lamat-lamat berhenti. Tak ada suara lagi. Malah, hanya bergetar.

Parasmu merona dalam peluk itu. Tangan kita berdua menyatu dalam untaian nada rindu. Aku terlalu bahagia. Sehingga, tak kupedulikan lagi tatapan orang-orang yang lewat lari pagi. Aku terlalu bahagia, hingga tak mampu mengucap satupun aksara.

Aku tahu, kau tidak pernah menyukai kontak fisik. Sedari dulu, bagimu, puisi dan segala bentuk macam aksara lebih mampu menghadirkan ekstase dibanding ciuman yang dalam dan panjang. Aku menyadari itu. Tetapi ini teramat hebat. Tak hanya jantungku yang berdebar. Kaki, mata, bibir, bahkan rambutku yang keriting ini pun ikut berdebar.

Pelan, aku menyentuhmu. Tanpa nafsu.

Kususuri alismu yang lebat hitam dan melengkung sempurna. Kuusap lembut kedua pipimu yang sedikit berjerawat. Kujawil hidungmu yang tidak seberapa aduhai. Kusapu bibirmu yang tidak pernah bergincu. Dan, kukecup dengan rasa syukur, kedua mata dan keningmu. Saksinya kertas koran yang tersipu.

Kau bisa mengatakan ini apologi, pembelaan, penyangkalanku. Tapi tak apa, kau tamparpun aku rela.

Kau tahu, aku sangat menyukai puisi. Dan, kau pun juga. Malam itu teramat berbunga. Indahnya membahana. Terlebih lagi, kau kali ini nyata. Aku ingin melukiskan itu semua dalam puisi. Sayang, aku tak membawa pena dan kertas. Aku ingin menulis puisi yang sempurna dan abadi tentang malam itu.

Maka, wajahmu menjadi kertasku. Jemari ini menjadi pena. Dan, debar ini menjadi tinta.

Kuguratkan perlahan. Kususupkan getaran debar-debar tersebut menjadi untaian bait-bait kontemplasi penuh rasa bahagia yang akan abadi disetiap kerut kulitmu. Puisi itu abadi di atas kanvas pemberian dari surga. Kau dan wajahmu.

Kutinggalkan puisi paling sempurna di dunia pada senyummu. Kutitipkan puisi paling indah di hidungmu. Kusesapkan puisi paling berbahaya pada kedua matamu. Dan, kutiupkan puisi paling abadi di aura kehidupan dan mimpi-mimpimu. Karena, aku tidak akan tahu, apakah kita akan kembali bertemu, esok atau lusa.

Komentar