Langsung ke konten utama

Surat Ketujuhbelas

Rabu, 26 November 2009
Teruntuk kau, yang kian terpatri dalam hati,

Aku sudah membaca semua mimpi-mimpi kamu yang tertera pada daftar yang kau tulis beberapa waktu lalu. Aku tahu, itu hanya sebagian mimpi-mimpi yang baru sempat kamu tuangkan menjadi rangkaian aksara. Aku yakin, ada banyak lagi mimpi-mimpi yang masih terendapkan. Berulang-ulang aku baca. Semakin sering kubaca, semakin dalam aku mengenalmu. Semakin dalam aku mengenalmu, semakin hebat perasaan kagum ini (meski ada beberapa mimpimu yang membuatku harus tersenyum meringis menahan sedikit ‘sakit’).

Kau tahu, aku sangat menyukai mimpi kamu no 15, 16, dan 17. “Aku ingin menyekolahkan adik bungsuku ke jenjang pendidikan yang tinggi,” katamu. Mimpi itu yang paling mulia ku rasa. Bertambah lagi rasa kagum ini setelah membaca mimpimu yang satu itu. Betapa cintanya kau kepada adikmu tersebut. Dan memang, sebaiknya hal tersebutlah yang harus kita lakukan untuk menjaga orang yang kita cintai dari pengaruh dunia yang makin berengsek ini.

Mimpi-mimpimu tersebut membuatku sempat merasa iba, simpati mungkin lebih tepatnya. Aku sangat menghargai orang yang mempunyai mimpi-mimpi. Karena, apalah artinya hidup jika kita tak mempunyai itu. Dan, apalah artinya mimpi jika itu hanya mimpi tanpa kita berusaha mewujudkannya. Aku sangat menghargaimu, yang mempunyai mimpi dan berusaha keras menjelmanyatakannya. Dua jempol tidak akan cukup untuk menunjukkan rasa kagumku.

Kau ingat pembicaraan kita tentang alat-alat ajaib milik Doraemon? “Kalau kau punya kantung ajaib Doraemon, apa yang akan kau ambil?” kataku waktu itu. Kau menjawab ingin mempunyai Mesin Waktu. Lalu kau bertanya alat apa yang ingin kupunyai. Saat itu aku menjawab, Kaset Ilmu. Tetapi, sebenarnya itu bohong, mungkin kau tahu aku bohong dari ucapanku yang terbata-bata. Mungkin juga tidak.

Satu-satunya alat yang ingin kupunyai adalah, Sepatu Mimpi. Sepatu Mimpi adalah alat yang bisa memungkinkan kita memasuki mimpi orang lain. Dengan memiliki sepatu itu, aku berharap bisa memasuki mimpimu. Mungkin, sedikit membantumu menggapai mimpi-mimpi tersebut.

Duhai kekasih, ada dua mimpimu yang juga pelan-pelan menjadi satu-satunya mimpiku saat ini. “Aku ingin menikah dengan sahabatku, sahabat yang kukenal seutuhnya di rumah, di jalanan, di manapun kami bersamaan…” tulismu pada mimpi no 24. Dan, “Aku ingin suami yang soleh, baik, pengertian, penyayang, mau mendengarkan,” tulismu lagi pada mimpi no 25.

Aku tahu, kita belumlah lama saling mengenal. Aku hanya tahu kulit luarmu dan kau begitu. Tetapi, entah mengapa, mungkin ini hanya perasaan ku saja, aku seperti telah mengenalmu bertahun-tahun sebelumnya, mungkin di kehidupan yang lalu, entahlah.

Mimpiku itu tercipta dalam jalinan udara yang kian pengap di Bumi ini. Saat kau bicara tentang mimpi-mimpi. Saat kau bicara tentang kehidupan. Saat kau duduk ketakutan di belakangku yang belum mahir mengendarai sepeda motor. Saat kita berjalan kaki di antara kegelapan malam. Tapi, ah sudahlah, toh aku sudah beberapa kali bicara tentang itu padamu.

Sebisa mungkin aku ingin membantumu menggapai mimpi-mimpimu tersebut, dalam suatu ikatan suci yang akan terus terjadi, sampai kita tak bisa lagi terikat.

5 TAHUN KE DEPAN
Lebaran kali ini tak berarti apa-apa
Mungkin lima tahun ke depan,
Akan lebih berwarna
Ketika kau dan aku bersebelahan

Menyusuri jalan-jalan di kampung
Dengan baju gamis yang serupa
Seorang balita di gendonganmu, dan
Sebuah surat nikah di laci lemari kita
(15 Okt 2007)


Puisi di atas kubuat sudah cukup lama, tetapi kurasa masih relevan dengan mimpi-mimpiku sekarang. Puisi itu menggambarkan semuanya, tanpa perlu kubicara lebih banyak.

Aku yang mengagumimu.

Komentar