Langsung ke konten utama

Surat Kempat

RABU, 6 AGUSTUS 2008
Untuk kekasihku: yang entah sampai kapan hanya berupa bayang-bayang,

Kekasihku yang begitu menawan embun pagi hari,

Bagaimana kabarmu hari ini dan kemarin? Masihkah senyummu secercah derak derap langkah semangat semut kecil, seperti terakhir kali kita berpelukan di alam mimpi yang abstrak? Atau, masihkah binar matamu sebening air liur anak-anak kelaparan di Somalia –saat mereka punggung mereka yang tengkurap lemas dielus-elus tangan kiri Wong-wong Londo, sementara di tangan kanan memegang burger yang mereka lahap sendiri? Ah, aku berharap semua kenangan masih tersimpan.

Surat ini aku tulis dengan perasaan yang sangat tak menentu. Sebenarnya selama ini aku menguatkan diri untuk tidak menulis surat -banyak urusan yang tak masuk di akal (kalau boleh meminjam istilah dari Bang Iwan Fals). Banyak hal yang sangat membutuhkan konsentrasi tinggi untuk diselesaikan, sehingga aku takut, bahkan untuk sekedar membayangkanmu. Karena aku tahu, dan kau pasti juga tahu, dunia akan berganti rupa menjadi sebuah dunia yang tak terpeta apabila aku memikirkannmu. Tapi, ah sudahlah. Akhirnya aku menulis juga surat ini sambil memikirkannmu. Sambil mengenang lagi kenangan manis ketika kita bermain di taman air di dunia tak terpeta tersebut.

Jadi, sekarang aku menyingkirkan sementara urusan-urusan yang tidak masuk di akal itu. Aku ingin bermain sebentar denganmu. Bertukar kata untuk sedikit meredakan penat yang berlarian di pikiran.

..........

Uh ...bahkan untuk merangkai kata agar bisa bersenda gurau denganmu saja aku tak kuasa. Saking penatnya ini kepala. Tak ada lagi topik yang bisa kulontarkan. Ah! Begini saja. Aku beritahu hal-hal yang menyangkut tentang aku, bagaimana? Yah, meski kita telah lama bersama tapi belum tentu kau mengetahui semuanya tentang aku. Dan sebaliknya, kau harus menulis semuanya tentang dirimu. Seperti “buku diari” yang sering diedarkan di kelas waktu kita SMP dulu, berisi biodata diri yang biasanya diawali ucapan: “Numpang Buang Tinta”, atau “Bandung dulu baru Jakarta. Senyum dulu baru dibaca” hehehe. So, here I go!

Numpang Buang Tinta Ah.... (hehehe)

Emm ...panggil saja aku “lelaki” atau kalau kau mau, tambahkan akhiran “-mu” di belakang kata itu, sehingga terbaca: “Lelakimu”. Aku sangat menyukai jengkol! Ya, sangat menggilai malah! Bagiku rasanya melebihi segala macam masakan di dunia. Raja segala makanan! Hidup Jengkol!

Kegiatan yang paling aku gemari adalah ..., emm ..., mungkin ...memikirkanmu. tak ada yang lebih mengasyikkan daripada duduk diam bersandar di dinding, memikirkanmu sambil merangkai kata demi kata, menyipta puisi yang berisi pemujaan akan dirimu. Dan hal yang paling kubenci, mungkin juga ...memikirkanmu! Ya, aku pun benci apabila tiba-tiba aku terdiam dan bayangan dirimu melintas dan menari-nari tanpa bisa kusentuh. Aku benci kenapa kita hanya bisa bercumbu di dalam kabut alam bawah sadar!

Tetapi, tetap saja rasa benci itu hanya sekian persen saja dari rasa menyukai.

Oya, wajahku biasa saja. Dari sepuluh perempuan yang ku mintai pendapatnya tentang wajahku, hanya satu orang saja yang bilang kalau wajahku jelek, sembilan orang lainnya ...muntah-muntah, hihihihi (emm, kalau menurutmu, aku bagaimana?). Bagiku tampang urusan belakangan, sing penting otak. Jadi, aku tidak belum tentu menyenangi gadis cantik. Kecuali gadis itu pintar, itu dia yang kucari. Sangat menyenangkan berbicara dengan orang pintar, mau tidak mau kita harus pintar juga agar bisa mengimbangi atau mengikuti alur pembicaraan. Kan lucu, sementara orang tersebut bicara panjang lebar, kita hanya bisa melongo tak mengerti. Aku yakin kau pintar, karena tidak mungkin kau tidak pintar, karena aku hanya menyayangi orang yang pintar, seperti sekarang aku menyayangimu.

Apalagi yah? Ah, nanti saja deh kalau kita bertemu. Aku ceritakan semuanya tentang aku, selengkap-lengkapnya. Karena sekarang sudah pagi (aku menulis ini saat subuh menjelang), dan aku harus kembali mengurusi “hal-hal yang tak masuk di akal” tadi. Doakan aku ya.

Sampai jumpa bunga tidurku, semoga kau tetap berwarna.

Komentar