Langsung ke konten utama

Surat Kelima

SABTU, 23 AGUSTUS 2008
Untuk kekasihku: yang tak pernah nyata,

Aku di sini, di sudut penantian yang tidak pernah usai, menantimu kekasihku. Datanglah malam ini atau esok pagi atau esok sore atau kapan saja, tempati kembali tempatmu di sampingku, karena setiap hari rindu ini semakin memuncak menimbulkan risau tak berkesudahan. Datanglah kekasihku, entaskan rindu yang tak pernah ada habisnya ini, meski mabuk dari ganja yang kucecap demikian rakus sudah hilang dari persemaian badan, pun dengan berbotol-botol alkohol yang mengalir deras di kerongkongan tak jua mangkus untuk sekedar mencungkil sedikitpun.

Demikian dahsyat rindu yang tiada pernah habis ini sayang, hingga teriak parau menyebar aroma perpaduan alkohol dengan nikotin kernet-kernet bis di kota kecil ini terdengar seperti nyanyian merdumu saat engkau merayu, mendendangkan sejuta tembang magis penggugah hasratku untuk selalu memainkan nada-nada erotis, membelai bibirmu dengan sesuap cinta abadi.

Dan takkan pernah terlupa bagaimana halusnya kulitmu membangunkan selaksa imaji disetiap detik yang kupunya untuk meraba dan mencengkeram cinta yang meruap dari sekujur permukaan tubuhmu yang seperti makanan di bulan puasa, selalu meneteskan air liur untuk bisa mengunyah walau hanya secuil saja. Hingga demikian rindunya akan sentuhanmu, sampai pukulan dan tendangan yang kuterima mentah-mentah dari petugas Polisi Pamong Praja saat aku dan teman-teman seperjuangan berdemonstrasi menentang penggusuran pedangang kaki lima di kota kecil ini, kuanggap seperti belaianmu di pipiku saat engkau bergelayut manja penuh pesona mengajak aku bercinta. Aku tak merasa sakit, malah menikmatinya kekasihku.

Perasaan dan semua kenangan tentang dirimu yang begitu sempurna terlalu kuat untuk dihapus. Seakan telah dipahat dengan kikir emas di atas batu di pedalaman hati.

Datanglah kekasihku cepat. Atau kau takut dan segan karena hanya sentuhan-sentuhan fisik saja yang selalu terjadi saat kita hanya berdua. Janganlah berpikir terlalu dangkal kekasihku, karena semua orang pun akan bersenggama. Tak perduli seberapa besar dan seberapa suci cinta yang selalu diagung-agungkan. Hal itu akan terus terjadi dan berulang-ulang, karena tak ada yang tahu bentuk pasti dari cinta itu sendiri. Hanya Dia yang tahu bentuk cinta itu, karena Dia Maha Mengetahui (yang kurasa sedikit pelit meski banyak yang berkata Dia Maha Memberi).

Dia hanya memberi tahu bahwa cinta itu ada tanpa memberi gambaran tentang cinta itu sayang. Hanya bukti yang ia beri, melalui alam, gunung, laut, sungai, hutan, bahkan kita sendiri. Tetapi bentuk, tak jelas dan abstrak, tak juga Dia beri tahu pada kita. Dia menitahkan kepada kita sebagai budaknya untuk mencari tahu sendiri, seperti seorang guru sekolah dasar yang tak pernah bisa disanggah meski salah. Dan, persenggamaan adalah salah satu cara yang cukup logis dalam perjalanan kita mencari bentuk cinta itu. Saat cairan kehidupan kita saling bertubrukan dan berfusi di dalam rahimmu yang selalu wangi, pada saat itulah cinta mengejewantah dari bentuknya yang abstrak.

Seperti itulah yang kurasa terjadi pada awal perjumpaan Adam dan Hawa, tak mereka tahu bahwa cinta itu ada, karena mereka masih bodoh saat itu sayangku. Langsung bercinta sejak mula bertemu muka. Persenggamaan yang tiada habisnya. Kita hanya mencari tahu dengan cara kita sendiri. Kalau ada yang bilang bahwa kita berdosa, biarkan saja. Toh bukan kita yang sebenarnya berdosa. Dia-lah yang harus bertanggung jawab atas dosa yang kita lakukan. Dia!.

Bukankah sudah sering kisah kau dengar tentang bagaimana Adam dan juga Hawa dihukum diturunkan ke dunia yang busuk ini karena telah memakan buah sumber pengetahuan, buah Khuldi. Tahukah kau, siapa yang salah waktu itu? Iblis, karena telah menghasut Hawa? Bukan, karena memang sudah menjadi pekerjaannyalah ia menggoda manusia, dan ia bertanggung jawab kepada Tuhan untuk menjalankan tugas yang diperintahkan kepadanya. Ataukah Adam, karena telah berani kurang ajar melanggar perintah-Nya? Bukan! Atau Hawa, karena merengek-rengek Adam agar mau memetikan dan memakan buah jahanam tersebut bersamanya? Bukan juga, kekasihku. Adam dan juga Hawa hanya manusia biasa seperti kita jua, tidak sempurna, masih sering berbuat salah. Kesempurnaan hanya milik-Nya. Jadi siapa yang salah? Hanya tinggal satu tersangka, Dia! Sang MahaKuasa, Raja Alam Semesta. Saking sempurnanya Dia, sehingga Ia tak mau disalahkan. Ia berbuat curang, menyalahkan Adam, Hawa, dan Iblis atas kesalahan yang sudah sewajarnya dilakukan oleh makhluk-makhluk tidak sempurna ciptaan-Nya.

Jadi, untuk apa Ia menciptakan buah ilmu pengetahuan itu kalau tidak untuk digunakan, sedang Ia sendiri pernah mengatakan bahwa tidak ada ciptaan-Nya yang dicipta untuk disia-siakan. Untuk apa Ia membuat larangan-larangan, sedang Ia sudah tahu sebelumnya bahwa mahkluk-makhluk ciptaan-Nya mempunyai kelemahan. Atau Ia sudah kehabisan mainan, sehingga Ia menciptakan buah tersebut lalu melarang siapapun untuk memakannya. Curang bukan? Pantaslah Ia kita panggil juga MahaCurang!

Ia telah mencurangi hidup kita, sayang. Hidupku pernah hancur lebur luluh lantak dipermainkan dicurangi oleh-Nya. Membuat jebakan-jebakan yang tersamar dengan rapinya, menyimpan sejuta perangkap manis untuk memutus langkah kaki hidupku! Dan akupun tahu, hidupmu pernah tak kalah hancurnya dengan hidupku. Dengan seenak jidat, Ia menukil semua perih yang tertera dalam kata-kata menjadi nyata menjadi bentuk yang menyeramkan di dadamu, merajah jidatmu dengan satu kata yang diucapkannya melalui mulut makhluk-makhluk penyembahnya; P.E.L.A.C.U.R.!

Seakan-akan kita ini adalah mainan dikala senggang baginya. Andai Ia benar seperti itu, mari kita sembur Ia dengan jigong dari gigi kita yang menguning. Mari sayang, jangan ragu, panggil saja Dia ...Brengsek!. Ya, Dia memang brengsek, seperti kekasihmu terdahulu yang telah menggerus vaginamu merajam selaput daramu dengan cambuk daging yang kemudian meninggalkanmu begitu saja meski kau menangis memohon agar ia tidak pergi. Atau seperti para lelaki hidung belang bau tanah yang begitu menggebu lalu layu bahkan ketika kau baru membuka kancing baju lalu membayarmu tidak sesuai dengan perjanjian awal.

Jadi, kembalilah sebentar. Akan aku bawa kamu ke tempat yang paling tinggi. Tempat yang paling dekat dengan-Nya. Lalu kita maki Dia, agar tahu bahwa kita sudah mengetahui segala tipu muslihatnya, bahwa kita akan berada di garis terdepan menentang Ia. Karena kita adalah Iblis bukan Malaikat.

***

Sudahlah membicarakan Dia, membuat aku tambah menyesal menjadi manusia.

Tapi, memang benar-benar hebat Dia, dua jempol untuk-Nya. Tahu kenapa? Karena meski aku jungkir balik sampai berak di celana, tak juga pernah aku menemukan atau setidaknya melihat apa yang dikatakan cinta itu. Terlalu kabur tapi terasa, seperti kentut.

Ada banyak hal yang mengaburkan tentang cinta. Aku menjadi tidak peduli lagi, masa bodoh, saat kita sedang bersama. Karena konsentrasiku selalu tertuju padamu sayangku, memandang matamu yang indah terpejam menahan berjuta kenikmatan yang datang menderu deru tanpa jeda. Atau karena derai airmatamu, membayangkan calon anak kita akan segera mati di ujung karet pengaman murahan yang kukenakan.

Maafkan aku sayang, aku berbicara dari sudut pandangku saja. Karena aku mengetahui aku sepenuhnya. Karena kau sendiri sama misteriusnya dengan cinta itu sendiri, sama abstraknya, sama tak terpetanya. Sama anehnya dengan Dia. Tak ada yang mengetahui apa, siapa, dan bagaimana kamu. Bahkan aku kekasihmu, tidak sedikit pun tahu.

Kadang engkau langsung hadir ketika aku sangat membutuhkanmu, seperti saat itu. Kadang pula tak kunjung tampak batang hidungmu yang bangir meski aku sudah berteriak sekencang-kencangnya, seperti seorang anak kecil yang kehilangan mainannya. Terlalu misterius engkau kekasihku, membingungkan. Kadang engkau ramah, membuka kedua telapak tanganmu lebar-lebar seperti pak Haji tetangga sebelah ketika lebaran tiba. Tapi tak jarang pula engkau menjadi ganas dan buas sebuasnya, penuh sarkasme. Menendang-nendang kelaki-lakianku, memberangus posisiku yang seharusnya di atasmu.

Engkau terlalu berwarna sayang, itulah yang membuat bingung. Membuat aku selalu bergombal-gombel dengan puisi-puisiku yang selalu menarikan dirimu. Membuat status kelamin kita menjadi tak jelas, yang mana yang laki-laki dan yang mana yang perempuan.

Ayolah! Datang! Karena sudah kusiapkan ribuan puisi lagi untuk menyelimutimu. Karena sudah kuseduhkan berikat-ikat cerita untuk menghangatkanmu yang mendingin karena derita. Aku mohon, melebihi doa-doa yang tak pernah kumunajatkan pada Dia.

Atau kau tak mau, atau karena kau memang hanya khayalku saja di saat senja ada di saat aku bersenggama dengan tangan saja. Atau kau tak pernah nyata? Atau, atau, atau...Akh! Taik!

Komentar