Langsung ke konten utama

Surat Keenam

SABTU, 13 SEPTEMBER 2008
Untuk kekasihku: yang masih selalu menari-nari di tepi ranjang mimpi,

Aku ingin marah saat ini! Memaki-maki! Menghancurkan apapun yang ada! Tapi kepadamu atau orang lain, hanya ingin marah-marah saja. Melepaskan kekesalan yang mengendap menjadi kerak di otak.

Kau tahu, kenapa aku ingin marah? Kau ingat surat terakhirku kemarin, di sana kutulis bahwa aku sedang mengurus ‘hal-hal yang tak masuk di akal’. Dan, rasa amarah ini berhubungan dengan ‘hal’ tersebut. Ada satu kejadian yang membuat aku merasa kesal, dilecehkan, diremehkan, diinjak-injak kepalaku tanpa bisa aku melawan (atau lebih tepatnya, tanganku diikat dan mulutku dibebat sehingga aku hilang daya untuk bisa melawan!).

Akan kuceritakan sedikit.

Saat ini aku sedang mencoba meraih tiket untuk bisa menghadapi masa depan yang mungkin lebih cerah. Akan tetapi, usahaku tersebut terbentur dengan ‘hal-hal yang tak masuk di akal’ yang membuatku kesal tadi. Dan, ‘hal-hal’ itu berkaitan sangat erat dengan berbagai kondisi dan individu yang mau tidak mau mempunyai kewenangan yang absolut untuk menentukan apakah aku berhak memiliki tiket itu.

Kehidupanku selanjutnya bergantung di tangan mereka, meskipun aku sudah berusaha keras, mengorbankan waktuku yang sangat sedikit, berulangkali memeras keringat yang hampir kering. Tapi, semua pengorbanan itu aku sadari dan hal itu memang diperlukan. Setiap perbuatan pasti memiliki konsekuensi dan resiko di baliknya.

Aku menyadarinya sungguh-sungguh, dengan tanpa penyesalan. Tapi apa yang terjadi? Mereka, individu-individu dimana nasibku bergantung di tangan mereka dengan seutas benang yang rapuh, tak menyadarinya. Mereka menjalani peran mereka sebagai penentu kehidupanku selanjutnya dengan sikap yang boleh kubilang tidak mencerminkan orang berpendidikan! Hahahaha!

Salah satu dari mereka pernah melecehkanku dengan perkataan yang tidak bisa ku tolerir sama sekali. Tidak ada sedikitpun pemikiran yang penuh logika yang bisa ku cerna dari perkataannya. Benar-benar tidak bisa kutemukan. Dengan seenaknya salah satu dari mereka menyalahkanku. Memberi label di jidatku sebagai terdakwa, karena kesalahan yang bukan kulakukan. Aku yakin seratus duapuluh persen kalau aku tidak salah. Tapi apa! Tetap saja aku menjadi orang yang ditimpa kesalahan! Seperti mobil yang menabrak motor.

Apakah kau tahu, sayangku? Kenapa aku tidak bisa menyanggah kesalahan yang ditimpakan kepadaku meski aku ingin melawannya, kenapa tetap aku menjadi orang yang disalahkan, kenapa aku harus dengan terpaksa menerima keputusan bahwa adalah AKU YANG BERSALAH? Semua itu tidak lebih karena posisiku berada sangat jauh di bawah mereka. Karena dipandangan mereka aku hanyalah keset yang sudah sepatutnya dinjak-injak. Karena aku tidak punya kuasa yang lebih dari mereka!

Kekuasaan dan kewenangan adalah sesuatu yang mutlak dipunyai untuk kita bisa berdiri tegak di dunia ini. Tanpa itu, kita hanyalah sampah yang akan selalu disingkirkan dan dipandang dengan tatapan yang busuk! Seperti aku, yang sekarang seakan-akan hanyalah kutu yang mengganggu ‘orang-orang terpilih’ itu.

Tetapi, aku tidak membenci mereka. Yang aku benci adalah sikap mereka. Yang dengan ketinggian ilmu mereka, yang dengan sederet gelar di belakng nama mereka, tidak sedikitpun berusaha berpikir dengan pikiran yang logis. Apalah artinya gelar-gelar dan ilmu-ilmu yang telah mereka capai untuk bisa disebut manusia yang berbudaya tetapi tetap berpikir secara purba.

Ini yang sempat terlintas dipikiranku:

Aku (individu-individu pintar itu) mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari kamu (aku), oleh karena itu kamu (aku) harus menuruti setiap perkataanku. Dan, karena kamu (aku) harus menuruti setiap perkataanku, maka aku (individu-individu pintar itu) mempunyai kuasa yang lebih dari kamu (aku).

Ah! Betapa sialnya menjadi orang yang tak punya daya dan kuasa!

Hidupku benar-benar tergantung di tangan mereka sayangku! Dan, betapa tipisnya benang yang mengikat, sehingga apabila mereka mau, dengan mengibaskan sedikit saja tangan mereka, maka kehidupanku akan hancur, dan mungkin aku tak akan lagi bisa menegakkkan kepala apabila bertemu denganmu.

***

Sudah habis kesabaranku menghadapi mereka, menuruti setiap kemauan mereka. Tetapi, apalah daya. Setiap perkataan mereka seakan-akan adalah fatwa MUI yang akan sangat menentukan kehidupanku kelak. Aku hanya bisa sedikit berharap, agar mereka bisa sedikit saja mengintip kepentingan-kepentingan yang telah kukorbankan banyak agar aku bisa menuruti mereka. Aku berharap mereka bisa merubah sedikit saja -hanya sedikit saja- sikap purba mereka. Tapi, sepertinya harapanku hanya menjadi buih di antara ombak waktu yang melalui mereka. Kepala mereka teramat keras melebihi batu!.

Aku hanya bisa berharap. Bahkan aku berdoa kepada Iblis [aku tidak mau lagi berdoa kepada Tuhan Yang (katanya) MahaKuasa, karena Ia telah mengirim orang-orang terbaiknya (individu-individu pintar itu) untuk menghancurkanku] agar bisa mengubah cara berpikir mereka walau sedikit. Semoga Iblis mau mengabuli doaku, karena Iblis berpihak pada orang-orang tertindas.

***

Maafkan aku sayang sebelumnya karena telah menyampaikan hal yang tidak menyenangkan seperti ini. Karena hanya kepadamulah aku bisa bercurah hati, tidak kepada orang lain, karena hanya kamulah satu-satunya orang yang paling mengerti bagaimana aku. Karena hati kita adalah satu.

Komentar