Langsung ke konten utama

Surat Pertama

SENIN, 7 JULI 2008
Untuk kekasihku: yang belum aku tahu siapa,

Ini adalah surat pertama aku tulis untukmu. Kau baca: “surat pertama”, berarti akan ada lagi surat kedua, ketiga, keempat, dan selanjutnya. Aku tak tahu kenapa aku nekat untuk menyatakan rasa sayangku padamu, padahal engkau pun tahu bahwa kita belum saling mengenal, bahkan rupamu pun belum aku tahu meski kucoba untuk membayangkannya.

Aku pun sendiri tak mengerti kenapa bisa aku tergerak untuk menulis surat ini. Mungkin aku terbawa sedikit suasana setelah baru saja tadi membaca sebuah novel romantis karya Kang Abik yang judulnya “Pudarnya Pesona Cleopatra”, tentu kau tahu bukan pengarang itu, karyanya yang fenomenal, “Ayat-ayat Cinta” membuatnya menjadi seorang milyader baru dan dijuluki sebagai “Novelis No.1 Indonesia”. Dan, itu membuat aku sedikit bingung dengan kriteria yang dibutuhkan untuk menyebut seorang pengarang sebagai “Pengarang No.1” tersebut. Apakah jumlah buku yang habis terjual itu menjadi patokan? Atau… ah, sudahlah.

Kau tahu? Suasana hati di sini sedang merahjambu, ya seperti yang telah kukatakan tadi, terbawa suasana romantis dari novel kang Abik itu, yang bercerita tentang seorang laki-laki yang sangat mendambakan perempuan untuk dijadikannya isteri. Hingga akhirnya ia menikah dengan seorang muslimah berwajah cantik dan hapal kitab suci. Lalu apakah sampai di situ saja cerita? Apakah ia bahagia? Kamu tahu kekasihku? Ia tidak berbahagia. Ya, ia tidak bahagia dengan perkawinannya meski kata banyak orang ia beruntung mendapatkan seorang isteri yang cantik dan berbudi luhur. Dan kamu tahu kenapa? Karena isterinya tersebut tidak memiliki kecantikan yang didamba-dambanya, kecantikan Cleopatra, kecantikan Mesir. Isterinya tersebut tidak sesuai dengan ‘standar’ dia. Naif sekali dia yah.

Memang setiap orang memiliki kriteria-kriteria tertentu yang menjadi favoritnya, tapi itu bukan untuk perempuan! Karena kita manusia (perempuan dan laki-laki) bukan barang yang memiliki nilai jual atau beli! Kita sama berharganya satu sama lain.

Dan lagi, ada satu hal yang membuat aku geram setelah membaca novel itu. Para tokoh laki-laki dalam novel itu dengan seenak udelnya memberikan penilaian terhadap perempuan begitu saja. Perempuan Mesir beginilah, perempuan Indonesia (khususnya Jawa) begitulah. Mereka menyamaratakan semua perempuan tersebut dengan melihat dari satu contoh saja, itu yang membuat aku geram. Dan yang membuat aku lebih geram lagi kau tahu? Tokoh-tokoh perempuan dalam novel tersebut sama bodohnya, sama tololnya dengan tokoh laki-lakinya. Mereka menerima saja penilaian itu meskipun aku yakin mereka tahu hal tersebut (penilaian terhadap perempuan) dibentuk oleh budaya bangsa, agama, atau lingkungan mereka (karena salah satu dari tokoh perempuan itu adalah seorang lulusan S2!), sehingga mereka dengan bodohnya mengikuti alur yang sudah terbentuk, seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, dengan tanpa disadari mereka benar-benar menjadi dan berusaha menjadi perempuan yang diidealkan oleh laki-laki. Mereka menjadi orang lain, kehilangan rasa percaya diri.

Mungkin kamu heran, kenapa dalam surat pertamaku ini aku berbicara panjang lebar tentang sebuah novel. Tapi aku tekankan, uraian tersebut sangat penting untukku dan juga untukmu. Uraian tersebut akan menjadi rambu-rambu yang membedakan antara aku dan yang lainnya dikemudian hari nanti seandainya kita ditakdirkan bertemu. Seandainya diantara kita muncul kecambah-kecambah perhatian satu sama lain. Seandainya kemudian aku sangat peduli denganmu dan kau pun peduli denganku. Seandainya kita saling jatuh cinta. Atau “seandainya-seandainya” yang lain.

Ketahuilah kekasihku, kau tak perlu menjadi apapun atau siapapun yang aku sukai hanya agar aku menyayangimu karena aku akan berbuat seperti itu. Aku tidak akan berusaha menjadi hal-hal yang engkau sukai. Karena aku hanya ingin kamu, itu saja. Aku tidak akan mencari kelebihan dari dirimu untuk membuat suatu alasan agar aku menyayangimu. Dan, aku harap kau pun seperti itu kepadaku.

Satu lagi, aku pun tidak selalu mengharapkan agar engkau selalu menurut padaku. Aku ingin engkau kritis. Makilah, teriaklah, ataupun sanggahlah apabila ada sikap atau kemauanku yang bertentangan dengan nuranimu. Jangan takut untuk mengatakan: “Tidak!”. Karena engkau perempuan yang setara dengan aku yang laki-laki. Jangan merasa aku lebih kuat. Jangan merasa kau lebih lemah. Jangan merasa kalau perempuan itu lemah!. Karena aku yakin, keharmonisan bukanlah tercipta dari suatu struktur dimana ada pihak superior mengangkangi ataupun menyetir pihak inferior. Karena aku yakin, engkau sama berharganya denganku. Tidak kurang tidak lebih, hingga suatu saat nanti, ketika kau dan aku melebur jadi satu.

Komentar