Langsung ke konten utama

Surat Ketiga

Selasa, 22 Juli 2008
Untuk kekasihku: yang masih juga aku belum bisa membayangkan,

Hatiku menangis tadi malam. Mataku terpejam sambil memaki tak lama kemudian. Tak berani melihat tayangan yang mengiris-ngiris kalbu.

Ada sebuah tayangan tentang realitas kehidupan di Ibu Kota negeri ini. Tentang kehidupan malam anak jalanan yang masih mencari rezeki di antara gemerlap lampu taman dan kedap-kedip lampu lalu-lintas. Bernyanyi dengan alat musik sederhana di sela-sela kendaraan yang berhenti waktu lampu lalu-lintas menyala merah dan di antara denting garpu dan sendok yang beradu dengan geligi di warung makan pinggir jalan. Terus terang sayang, tak terasa air mataku menetes perlahan.

Aku bukan menangisi atau merasa kasihan dengan nasib mereka yang (ya Tuhan!) masih berumur belasan tahun, masih SD atau SMP! Harus mencari uang untuk bisa makan, karena aku yakin mereka adalah manusia-manusia terpilih yang dikaruniai dengan keteguhan dan mental baja. Air mataku menetes dan hatiku meleleh karena haru, karena malu hanya dengan satu perkataan sederhana dari salah satu anak jalanan yang diwawancarai.

Sewaktu ditanya oleh reporter acara tersebut mengenai apa yang menjadi cita-cita atau keinginan anak jalanan itu, anak itu (aku lupa namanya) berkata, “Saya ingin cepat gede, lalu abis kelar SMA saya mau bawa nenek pergi dari sini (Ibu Kota negeri ini)”. Kamu tahu sayang, berapa umur anak tersebut? Umurnya 10 tahun, masih kelas 4 SD! Bisa kamu bayangkan, bagaimana aku tidak terharu, bagaimana aku tidak malu, perkataan seperti itu bisa keluar dari mulut seorang anak kecil yang masih polos!.

Bisa kamu rasakan seperti apa yang aku rasa saat mendengarnya. Hanya jiwa yang benar-benar murni dan semangat yang sangat suci yang mampu mengucapkan hal yang seperti itu di tengah realitas dan keadaan sekelilingnya yang carut marut, hancur-hancuran. Sederhana. Simpel. Tidak muluk-muluk, tetapi sangat amat berharga. Seperti menemukan sekepal berlian diantara kotoran kerbau. Ia hanya ingin cepat besar lalu membawa nenek yang telah mengurusnya pergi dari kehidupan kota besar yang kejam, itu saja. Tidak ada cita-cita muluk menjadi dokter, insinyur, ataupun orang kaya yang seperti biasa kita dengar dari anak-anak lain seumurnya yang memiliki kehidupan lebih baik dari dia.

Aku merasa sangat malu padanya. Dari aku kecil sampai aku besar sekarang. Dari aku sekolah dasar sampai kuliah sekarang, tak pernah terpikirkan sekalipun olehku yang memiliki nasib lebih baik darinya akan hal sederhana tersebut. Tak pernah terlintas di otakku yang sudah dijejali ilmu pengetahuan ini untuk membawa bapakku yang sering kumat penyakit darah tingginya pergi dari Ibu Kota kembali ke kampung halaman beliau. Mengurus beliau yang telah banting tulang dan harga diri untuk mencari uang agar aku bisa sekolah selama ini, menjauhi suasana panas Ibu Kota. Kembali ke suasana desa yang sejuk dan penuh ketentraman, dengan harapan pasti penyakit darah tinggi beliau bisa mencair ditekan oleh suasana desa yang sejuk itu.

Dan, aku merasa lebih sangat malu kepada anak itu saat aku mengingat ibuku, yang telah mempertaruhkan nyawanya saat melahirkanku, yang telah menjadi seorang perempuan paling tangguh yang pernah aku kenal. Karena selama ini tak pernah sedikitpun aku berpikir seperti anak jalanan tersebut, membawa pergi beliau dari jauh dari kehidupan kota yang telah memberangus waktunya menikmati hidup bersama bapakku. Melayani beliau (yang demi Tuhan, paling aku cintai), memijat kakinya yang pegal sambil bercakap-cakap tentang siapa calon isteriku di tepi kolam ikan yang kubuat bersama bapak di tengah hawa murni dan udara segar pedesaan, menemani beliau memasak makan siang di dapur, atau cepat-cepat kembali ke rumah mengambil sambal yang tertinggal saat kami makan siang setelah lelah menyabuti singkong di kebun.

Hal-hal sederhana macam itu yang tak pernah terpikirkan selama ini olehku. Malah angan-angan muluk seperti: “Kalau aku sukses nanti, punya banyak uang, aku akan membelikan apa yang ibu dan bapak minta” yang pernah aku katakan pada beliau berdua, tanpa melihat dahulu sebesar apa peluangku untuk bisa sukses seperti itu.

Anak jalanan tersebut menyadarkan aku. Menggetok keningku dengan tangannya yang ringkih. Menggamparku dengan kepolosannya. Mengajarkan aku tentang arti cita-cita luhur yang sebenarnya. Aku malu sekaligus kagum pada dia. Anak jalanan yang ringkih tapi bercahaya.

Komentar