Langsung ke konten utama

Surat Keduapuluh

Kamis, 11 November 2010
Untuk Hamparan Mimpi dan Harapan-ku, Kekasih,

Apa kabarmu, kekasih? Sudah lama aku tak menyapamu. Entahlah, aku seperti tiada lagi ada di dunia kita. Bahkan, mimpi-mimpi yang dahulu selalu jadi tempat peraduan, kini seperti menghilang. Aku rindu padamu.

Aku ingin bercerita, sedikit, tapi begitu dalam. Beberapa hari yang lalu, perempuan yang membuatku ada menghubungiku. Beliau meminta aku untuk pulang. Bukan hanya "pulang", tetapi benar-benar "pulang" secara harfiah. Kembali dan hidup di sana, kota besar dimana aku tidak pernah suka.

***

"Nak, sudah, pulang saja,"

"Nanti, Bunda. Saya belum bisa,"

"Apalagi, Nak? Bukannya sudah selesai semua?"

"Belum, Bunda,"

"Lalu apa? Pekerjaan? Atau, kamu masih berharap dengan dia?"

"..."

"Nak, Bunda tahu semua. Ini mungkin firasat orang tua. Tetapi Bunda rasa, tak ada lagi yang tersisa untuk kamu di sana. Pulang ya, Nak. Bunda rindu. Apa kamu tidak rindu sama Bunda? Bunda rayu nih, nanti Bunda masakin gulai jengkol kesukaan kamu,"

"Aku rindu, Bunda. Tetapi..."

"Tapi? Bunda tahu dan mengerti. Bunda paham dengan kamu, baik-buruk kamu. Kamu yang keras kepala. Kamu yang selalu ngotot, bahkan sama Bunda. Kamu yang tidak pernah mau menyerah. Bunda tahu semua, Nak. Tetapi, Bunda lebih tahu, kamu pasti sudah lelah. Pulang, Nak. Istirahatlah sebentar di rumah. Pohon mangga di belakang rumah sudah mulai berbuah,"

"Nak. Bunda, Ayah, Kakak, dan adikmu sangat rindu. Bahkan si Bungsu selalu bertanya tentang kamu. Katanya; Bunda, abang mana? Aku kangen lho. Mau dibacain dongeng lagi. Bunda abang mana?"

"Ya, Bunda, aku rindu, rindu sekali. Sama Bunda, Ayah, semuanya. Tapi, Bunda. Aku minta waktu, sebentar saja, sampai akhir bulan ini. Bolehkan Bunda?"

"Nak, Bunda tidak pernah memaksa. Tapi, pikirkanlah. Kamu bisa memulai lagi segalanya di sini. Dan, kamu tidak akan sendiri. Ada Bunda. Ada si Bungsu yang selalu menantimu, belajar sastra, puisi dan kata-kata. Kamu tidak akan sendirian lagi seperti yang sudah kamu jalani selama ini,"

"Iya, Bunda. Aku akan kembali setelah semua selesai. Pulang ke Jakarta. Menghirup udaranya. Dan hidup dari tetesannya,"


***

Kekasih, itu percakapanku dengan Bunda-ku waktu itu. Dan, aku sudah memutuskan, akan meninggalkan semua di belakang. Meninggalkanmu, sejarah dan jejakku di bumi Lampung.

Ah, aku lupa, kau tidak pernah nyata. Mungkin di sana kita akan berjumpa. Bisa di bawah jembatan, halte bus, atau rumah makan. Karena kau tak pernah nyata, kau bisa ada dimana saja.

Aku... Pulang.

Komentar

Posting Komentar